SOLO (voa-islam.com) – Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Solo Raya belum lama ini (26/3) menggelar aksi unjuk rasa dikawasan Bundaran Gladak Jl. Slamet Riyadi Surakarta Jawa Tengah, untuk menyatakan penolakannya terhadap RUU Ormas.
Dalam orasinya, Ustadz Sarwidi Abu Naufal (Humas HTI Solo Raya) menegaskan, ideologi yang paling besar mengancam negeri Indonesia adalah ideologi sekulerisme, kapitalisme, imperialisme modern, bukan ideologi islam. HTI menilai, RUU Ormas banyak mengandung masalah. Diantara masalah yang terkandung dalam RUU Ormas itu adalah :
1. RUU Ormas sarat dengan spirit represi.
Sangat terasa adanya keinginan atau bahkan nafsu represi untuk mengekang masyarakat. Hal itu dituangkan dalam definisi Ormas, asas, syarat pendaftaran, pengaturan bidang kegiatan, larangan dan sanksinya.
2. RUU ini Hidupkan kembali trauma fitnah Orde baru melalui asas tunggal.
RUU ini (versi bahan panja 18 Februari) mengharuskan semua Ormas tanpa kecuali untuk berasaskan Pancasila. Keinginan pengasastunggalan itu disamarkan dengan tambahan bahwa Ormas boleh mencatumkan asas lain yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Dalam pasal 2 dinyatakan: “Asas Ormas adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, serta dapat mencantumkan asas lainnya yang tidka bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.” Ini adalah kemunduran dari draft awal yang menyatakan pada pasal yang sama: “asas Ormas tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonsia 1945.”
Padahal asas tunggal itu telah menimbulkan trauma bagi masyarakat. Ketetapan penentuan asas Ormas itu menghidupkan kembali spirit asas tunggal yang dahulu dijadikan alat oleh Orde Baru untuk mengekang masyarakat. Padahal sejak reformasi, spirit itu sudah dibatalkan oleh TAP MPR no. XVIII/1978 yang membatalkan TAP MPR no. II/1978 yang menghidupkan spirit asas tunggal.
Dengan mengembalikan spirit asas tunggal, bukti DPR dan Pemerintah masih menyimpan spirit represi atau bahkan memang ingin kembali bertindak represif seperti Orde Baru. Hal itu juga akan kembali membangkitkan trauma masyarakat dan fitnah akibat asas tunggal itu bisa saja terulang kembali. Juga bahwa itu merupakan kemunduran dari reformasi.
3. RUU ini mengandung kesan “pembalasan” terhadap Ormas.
UU Parpol, tidak secara jelas mengusung spirit asas tunggal. Kenapa RUU Ormas justru mengusung spirit asas tunggal itu ala Orba? Apakah ini menjadi semacam “pembalasan” Partai Politik terhadap Ormas yang selama ini bersikap kritis terhadap Parpol, DPR dan Pemerintah?
4. Definisi Ormas yang sangat umum mencakup semua organisasi di masyarakat.
Pada pasal 1 ayat 1 dinyatakan definisi Ormas adalah: “…“…organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan NKRI yang berdasarkan Pancasila”.
Definisi ini akan memasukkan semua organisasi di masyarakat (kecuali Parpol dan organisasi sayap Parpol) bersifat sosial atau nonprofit, asosiasi atau perkumpulan keilmuan/profesi/hobby baik beriuran ataupun tidak, pengajian, paguyuban keluarga, yayasan yang mengelola lembaga pendidikan dan rumah sakit, panti asuhan, dan masih banyak lagi. Ini menunjukkan keinginan untuk mengontrol hampir semua dinamika organisasi di masyarakat. Hal itu akan tampak jelas ketika cakupan definisi ini dihubungkan dengan ketentuan pendaftaran ormas, pengawasan ormas, sanksi dsb.
5. RUU Ormas diskriminatif.
Jika definisi Ormas serba mencakup dan menunjukkan keinginan agar tidak ada organisai di masyarakat yang luput dari kontrol, sebaliknya RUU Ormas itu justru mengecualikan organisasi sayap Parpol. Pada Pasal 4 yang dikatakan: “Ormas bersifat sukarela, sosial, mandiri, nirlaba, demokratis, dan bukan merupakan organisasi sayap partai politik”.
RUU Ormas akan mengatur Ormas dengan sangat detil, tentang pendirian, tata kelola internal, akuntabilitas dan transparansi, larangan, hingga sanksi. Sangat jauh berbeda dengan pengaturan organisasi sayap partai politik hanya disebut dalam satu kalimat di dalam UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik: “Partai politik berhak….membentuk dan memiliki organisasi sayap partai” (Pasal 12 huruf j).
Lantas, mengapa organisasi sayap partai politik dikecualikan secara eksplisit dari RUU Ormas? Dengan dikecualikan, artinya organisasi sayap parpol tidak diatur dengan RUU ini. Namun pada saat yang sama, organisasi sayap parpol itu tidak bisa dianggap sebagai parpol dan terhadapnya juga tidak bisa diberlakukan UU Parpol. Lalu aturan apa yang secara spesifik mengatur organisasi sayap parpol. RUU Ormas tidak, UU Parpol tidak, UU Yayasan tidak, UU Perseroan tidak.
6. RUU Ormas membungkam sikap kritis
Pasal 7 tentang bidang kegiatan Ormas, tidak ada bidang politik. Itu artinya Ormas tidak boleh melakukan kegiatan dibidang politik. Politik dalam KBBI diantaranya diartikan “1. segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dsb) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain; 2. kebijakan; cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah).” Dengan begitu sama artinya, Ormas tidak boleh melakukan aktifitas politik, tidak boleh mengkritisi kebijakan pemerintah, tidak boleh demonstrasi mengkritisi kebijakan pemerintah, dan aktifitas-aktifitas politik lainnya.
7. RUU Ormas untuk akuntabilitas Ormas?
Pasal 38 (2): keuangan Ormas sebagaimana dimaksud ayas (1) harus dikelola secara transparan dan akuntabel. Lalu Pasal 39 (1): Dalam hal Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf a dan huruf b menghimpun dan mengelola dana dari anggota dan masyarakat, Ormas wajib membuat laporan pertanggungjawaban keuangan sesuai dengan standar akuntansi secara umum atau sesuai dengan AD dan/atau ART.
Pasal ini tidak menjelaskan, laporan pertanggungjawaban yang wajib dibuat itu diserahkan kepada siapa? Jika harus diserahkan kepada Pemerintah, mau diapakan oleh pemerintah, apa konsekuensi dari laporan itu jika diserahkan kepada pemerintah? Jika dana itu dari APBN, APBD atau asing wajar saja harus dilaporkan pertanggungjawabannya kepada Pemerintah. Tapi jika berasal dari anggota, untuk apa harus dilaporkan kepada pemerintah?
Jika begitu, benarkah RUU ini untuk transparansi dan akuntabilitas Ormas? Apakah belum ada aturan yang mengatur tentang transparansi dan akuntabilitas Ormas sehinggaharus dibuat aturan tentang hal itu? Bukankah sudah ada aturan terkait yayasan di dalam UU tentang Yayasan? Juga sudah ada aturan di UU Keterbukaan Informasi Publik.
8. Persyaratan Administrasi Menjadi Instrumen Penghambat Keleluasaan Berserikat dan Berkumpul.
Ada pasal 16 diatur bawha Ormas tidak berbadan hukum harus mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari Pemerintah (Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota) agar bisa menjalankan aktivitasnya. Sementara untuk mendapatkan selembar SKT, Ormas harus memenuhi persyaratan administrasi seperti memiliki AD/ART atau akta pendirian yang dikeluarkan oleh notaris yang memuat AD/ART, program kerja, kepengurusan, surat keterangan domisili, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama Ormas, surat pernyataan bukan organisasi sayap partai politik, surat pernyataan tidak dalam sengketa kepengurusan/perkara pengadilan, dan surat pernyataan kesanggupan melaporkan kegiatan.
Masalahnya, cakupan definisi Ormas begitu luas. Dengan ketentuan ini, maka semua organisasi (kumpulan orang yang berkelompok yang didalamnya ada pengurus betapapun sederhana strukturnya) harus memiliki SKT. Itu artinya, kelompok arisan, majelis taklim, paguyuban dan organisasi lainnya harus mendapat SKT untuk bisa beraktifitas. Jika tidak punya SKT maka tidak boleh melakukan kegiatan. Ketentuan ini selah mengatakan, silahkan berserikat dan berkumpul asal memiliki SKT yang ditentukan oleh Pemerintah. Jadi sama saja mengatakan, silahkan berserikat dan berkumpul asal mendapat persetujuan dari pemerintah.
9. RUU ini meletakkan semua bentuk kegiatan berserikat dan berkumpul dibawah kontrol Pemerintah dalam hal ini Kesbangpol Kemendagri.
RUU ini membawa semua Organisasi baik berbadan hukum (yayasan dan perkumpulan) atau tidak berbadan hukum, dengan semua ragamnya, berada dalam kontrol dan pengawasan pemerintah (Kesbangpol Kemendagri). Pengawasan Pemerintah (Pasal 58) berupa pemantauan dan evaluasi. Selanjutnya hasil pemantauan dan evaluasi itu akan dijadikan dasar tindakan terhadap Ormas.
Jika melanggar larangan (Pasal 61) yang kriteria dan tolok ukurnya tidak jelas dan longgar, bisa dijatuhi sanksi oleh pemerintah tanpa harus melalui putusan pengadilan. Itu artinya, semua organisasi di masyarakat akan dikontrol oleh pemerintah agar bisa sesuai dengan keinginan Pemerintah. Ini akan mengembalikan kontrol dan represi Orba yang sudah susah payah direformasi.
10. RUU Ormas Memuat Pasal Serangkaian Larangan yang Multitafsir (Pasal 61)
RUU Ormas memuat serangkaian larangan multi tafsir dengan tolok ukur dan kriteria yang tidak dijelaskan batasannya. Hal itu berpeluang untuk disalahgunakan sesuai selera penguasa.
Pasal 61 (3) c: “Ormas dilarang menerima sumbangan berupa uang, barang, ataupun jasa dari pihak mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas.”
Pasal larangan ini mengancam keberadaan organisasi sosial dan organisasi keagamaan semisal yayasan yatim piatu, panti suhan, yang biasa menerima donasi tanpa identitas jelas. Pada sisi lain, sangat banyak anggota masyarakat yang ketika memberikan donasi tidak mau mencantumkan nama asli dengan alasan tertentu.
Dengan larangan ini, kegiatan pengumpulan donasi di jalan-jalan misalnya untuk membantu korban bencana, untuk membangun fasilitas umum, masjid dan sebagainya, tidak bisa lagi dilakukan kecuali pemberi donasi mencatumkan identitas yang jelas. Larangan ini akan bisa mematikan jiwa filantropi masyarakat Indonesia.
Berikutnya, kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan NKRI; menyebarkan permusuhan antrasuku, agama, ras dan golongan; memecahbelah persatuan dan kesatuan bangsa; mengganggu ketertiban; srianya, dan siapa yang memutuskan? Dalam RUU Ormas tidak jelas. JIka dikaitkan dengan pasal 58 tentang bentuk pengawasan oleh Pemerintah dan pasal 62 tentang sanksi, dapat dipahami bahwa smeua itu tergantung kepada Pemerintah.
Jika demikian, sikap kritis kepada pemerintah, Ormas yang membongkar kejahatan negara, dan sebagainya bisa dianggap membahayakan keselamatan negara; atau dianggap melakukan kegiatan yang mengancam, mengganggu, dan/atau membahayakan keutuhan dan kedaulatan NKRI.
Pasal 61 (6) “Ormas dilarang melakukan kegiatan apabila tidak memiliki seurat pengesahan badan hukum atau tidak terdaftar pada pemerintah atau pemerintah daerah.” Sementara Ormas yang tidak memenuhi syarat menapat SKT harus memberitahukan keberadaannya kapada pemerintahan setempat sesuai domisilinya. Lalu apa artinya memberitahukan keberadaannya kalau tidak boleh beraktifitas?
11. Pemerintah Memegang Kekuasaan Menjatuhkan Sanksi Bagi Ormas (Pasal 62-63)
Kekuasaan menjatuhkan sanksi berada di tangan pemerintah (atau pemerintah daerah), mulai dari sanksi administratif berupa surat peringatan tertulis, penghentian bantuan atau hibah, hingga sanksi penghentian kegiatan (sementar) dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun, pencabutan SKT, dan pencabutan pengesahan badan hukum. Peradilan baru dilibatkan oleh pemerintah (atau pemerintah daerah) pada saat menjatuhkan sanksi pembubaran ormas berbadan hukum.
Selain hal itu, semuanya tergantung pada pemerintah. Ini membuka peluang disalah gunakan demi kekuasaan dan bisa melahirkan kembali represi pemerintah, sebab semua itu dikaitkan dengan larangan pada pasal 61 yang tolok ukur dan kriterianya sangat longgar dan bisa tergantung pada selera pemerintah.
Dengan demikian, menurut HTI, RUU Ormas itu akan menjadi ancaman bagi umat, dan juga akan menjadi pintu kembalinya pemerintahan otoriter, pemerintahan represif. Fitnah-fitnah terhadap Ormas dan kelompok masyarakat yang pernah terjadi pada masa Orde Baru yang telah menimbulkan trauma di masyarakat mungkin sekali akan kembali. Atas dasar semua itu, maka RUU Ormas ini harus dihentikan pembahasannya dan ditolak. [Bekti]