JAKARTA (voa-islam.com) – Akhirnya, TNI AD membentuk tim investigasi terkait dengan penyerangan di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut dia, tim dibentuk atas dasar dugaan keterlibatan anggota TNI AD dalam peristiwa yang menewaskan empat tahanan itu.
Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Pramono Edhie Wibowo mengatakan,"Mengapa harus TNI AD, karena hasil temuan sementara tim investigasi bentukan Kepolisian, memperlihatkan adanya keterlibatan atau peran oknum TNI AD yang bertugas di Jawa Tengah," kata Pramono dalam konferensi pers di kantornya, di Jakarta, Jumat, 29 Maret 2013.
Tim investigasi TNI AD, kata Pramono, baru dibentuk pada 28 Maret 2013. Tim itu dibentuk setelah sehari sebelumnya Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono memberi perintah Pramono melalui telepon.
Pramono memilih sembilan orang untuk masuk sebagai anggota tim. Mereka berasal dari polisi militer daerah dan Korem. Tim itu dipimpin Wakil Komandan Pusat Polisi Militer Brigadir Jenderal Unggul.Tim ini bekerja tanpa target waktu. Menurut Pramono, tim akan mengumumkan hasilnya secepat mungkin begitu mendapat informasi selengkap mungkin.
Peluru TNI
Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Pramono Edhie Wibowo mengakui bahwa sejumlah kesatuan dalam TNI AD masih menggunakan amunisi 7,62 milimeter."Amunisi 7,62 mm masih tetap kami gunakan karena senjatanya pun masih digunakan," kata Pramono dalam terkait pernyataan Tim Labfor Polri yang menemukan proyektil peluru 7,62 mm yang diduga digunakan oleh para pelaku dalam penyerangan di Lapas Kelas IIB Cebongan, Sleman, DI Yogyakarta.
Peluru itu diduga digunakan oleh 17 orang pelaku penyerangan untuk menembak tersangka pembunuh Sertu Santoso, anggota Grup II Kopassus Kandang Menjangan.
Pramono mengatakan bahwa peluru itu digunakan untuk hal-hal tertentu seperti oleh para penembak runduk (sniper), satuan kewilayahan, satuan bantuan tempur, dan satuan tempur. Peluru berukuruan 7,62 mm itu masih digunakan TNI untuk senjata-senjata jenis AK-47, G-3, dan SP. "Namun, umumnya standar militer infanteri adalah peluru 5,56 mm. Itu sudah umum di dunia," kata mantan komandan jenderal Kopassus itu.
Pramono menegaskan bahwa pihaknya tidak akan menutup-nutupi temuan tim investigasi TNI-AD di lapangan dan akan menindak secara tegas jika ada keterlibatan prajurit terhadap penyerangan Lapas Cebongan.
Komnas Batal ke Markaz Kopassus
Sebelumnya, Komnas HAM mengagendakan datang ke Markas Kopassus, Kandang Menjangan, Kartosuro, Sukoharjo. Pertemuan dengan Kopassus penting untuk merunut kasusnya dari awal. Namun agenda itu batal, karena tidak ada izin.
Ketua Komnas HAM, Siti Nurlaela mengatakan, karena tidak bisa ke Kopassus, pihaknya akan langsung ke Mabes TNI. Rencananya, Komnas meminta Mabes untuk mengundang pihak Kopassus dalam pertemuan."Alasan birokrasi, yakni mereka belum dapat izin dari Mabes. Hanya itu yang disampaikan ke kami," kata Siti Nurlaela usai menemui Kapolda Brigen Sabar Rahardjo di Mapolda DIY, Rabu(27/3/2013).
Dalam pertemuan yang dihadiri masyarakat NTT di Yogya itu, Komnas HAM menyerahkan sebuah proyektil yang tertinggal di TKP karena belum sempat diambil petugas."Proyektil itu ditemukan di ruang A 5 LP Cebongan," katanya.
Komnas HAM mendapatkan informasi bahwa pasca penyerangan LP Cebongan, masyarakat NTT merasa tidak aman. Oleh karenanya, Komnas meminta Polda untuk menjamin kemanan warga. [desastian/dbs]