View Full Version
Senin, 01 Apr 2013

MUI: Pihak yang Setuju Kumpul Kebo, Kepanjangan Tangan dari Germo

JAKARTA (voa-islam.com) – Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh menegaskan, pihak-pihak yang tidak menyetujui adanya Rancangan Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), terkait kumpul kebo, dengan dalih privacy, tak lebih sebagai kepanjangan tangan dari germo alias orang yang berperan sebagai pengasuh praktek perzinahan.

Asrorun Ni’am (MUI) yang juga aktif sebagai Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengatakan, “Sebenarnya logika wilayah privat dan public itu harus dibongkar. Banyak hal yang terkait wilayah privat, tapi implikasinya pada wilayah public. Misalnya, kita boleh saja suka-suka memotong tangan kita sendiri, tapi dalam rangka menjaga jiwa, maka  dengan hukum, perbuatannya bisa dilarang, dan pelakunya dapat dikriminalkan,” ujarnya kepada voa-islam di Jakarta.

Lebih lanjut Niam mengatakan, dia memang tidak merugikan masy, tapi dia mengancam jiwanya. Dalam konteks ini, negara perlu masuk untuk melindungi jiwa. “Dan dalam konteks hubungan perzinaan, ada pranata untuk melindungi keturunan manusia. Pranata ini sebenarnya untuk membedakan antara manusia sebagai makhluk yang berbudi pekerti, cerdas, dan berbudaya dengan hewan yang kapan saja bisa ganti pasangan, dan dengan siapa saja berketurunan. Itulah sebabnya, perlu ada perlindungan pranata lembaga perkawianan,” ujarnya.

“Ketika hubungan perkawinan diluar pernikahan sah terjadi, maka rusaklah tatanan nilai yang ada di masyarakat untuk melindungi keturunan yang sah. Karena itulah negara masuk untuk mengatur itu.”

“Soal sanksi bisa diperoleh darimana saja, ada sanksi moral dan hukum tentunya. Negara dalam konteks kewenangan memberi perlindungan secara umum kepada keturunan yg sah itu. Bila hukum tidak ditaati, maka perlu ada penegakan hukum,” ungkap Ni’am.

Pihak yang pro kumpul kebo kerap berdalih, kembalikan saja pada hukum adat, tak perlu pidana. Menanggapi hal itu, Ni’am mengatakan, memang adat bisa menjadi pertimbangan penetapan hukum, tapi tidak serta merta, adat yang hidup dimasyarakat bisa dikonfirmasi oleh hukum Islam.

Ada tiga pola relasi antara hukum Islam dan  hukum adat. Pola yang pertama, mengkonfirmasi adat kebiaaan baik bisa dijadikan pertimbangan penetapan hukum.

Pola kedua, ada adat buruk yang dinegasikan, seperti budaya kumpul kebo, minuman keras (miras), membunuh anak perempuan, lalu dibiarkan. Budaya merusak ini perlu diluruskan. Fungsi hukum sebagai rekayasa social, tidak hanya sekedar mengkonfrimasi, tapi merekaysa menjadi adat yang baik.

Pola ketiga, ada jenis adat yg baik, tapi kurang sejalan dengan Islam. Maka perlu dinegasi, diluruskan dan dikonfirmasi. “Dalam konteks kumpul kebo, tentu adat masyarakat Indonesia juga menolak dengan kebiasaan yang bersumber dari nilai luhur dan keagamaan, dan tidak ada satu pun yang menkonfirmasi keabsahan kumpul kebo. Itu sudah cukup.”

Niam mengingatkan, ketika hukum tidak hadir, maka akan terjadi tindakan anarkis di tengah masyarakat. Justru kehadiran hukum untuk menjaga ketertiban masyarakat.

Menyinggung soal ketakutan kaum liberal dengan RUU Kumpul Kebo, karena dianggap sebagai adopsi dari hukum Islam, Asrorun Niam menegaskan, terhadap penolak RUU Kumpul Kebo tentang pelaku  perzinahan, justru patut dicurigai, jangan-jangan mereka sebagai penganjur hubungan di luar pernikahan. “Dan bisa jadi sebagai kepanjangan tangan dari germo.” [desastian]


latestnews

View Full Version