View Full Version
Jum'at, 05 Apr 2013

Ustadz Heri Syahmuda: Gerakkan Revolusi Pangan di Mentawai (Bag-I)

MENTAWAI (voa-islam.com) - Perlu tiga hari warga Mentawai untuk dapat memakan sagu yang diambil di ladang hari ini. Di saat menunggu, mereka mengganjal perut dengan pisang, ketela, atau keladi.

Itulah salah satu kondisi yang membuat prihatin Ustadz Heri Syahmuda Sitorus, ketika tiba di Dusun Tubeket, Desa Makalau, Kecamatan Pagai Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, pada Juli 2012. Ia ditempatkan di sana sebagai da’i pengabdian Dewan Da’wah, untuk dapat mengikuti wisuda sarjana ilmu komunikasi Islam di Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Mohamad Natsir, Jakarta.

Bertugas di dusun yang terisolir, Heri membawa serta istrinya. Untuk memasak, Heri dan istri berbagi tugas mencari kayu bakar dan mengangkat air. Namun istrinya tak mengangkat yang berat-berat, lantaran tengah mengandung anak pertama.

‘’Air yang kami pakai adair air hujan yang ditampung di bak,’’ katanya. Jika sepekan air dari langit tidak turun, mereka terpaksa mandi sekali sehari. Sedangkan untuk mencuci, keduanya harus pergi ke litau (parit kecil), bergabung dengan warga lainnya.

Sepekan sekali, setiap Rabu, Heri dan istri ke Sikakap, ibukota kecamatan, guna belanja kebutuhan sehari-hari. Perjalanan ditempuh dengan menumpang boat selama satu jam, mengarungi ombak lautan yang cukup ganas. Turun dari boat, pakaian mereka basah-kuyup. Itu belum seberapa, jika boat terbalik kena hantaman ombak atau kepenuhan air.

‘’Pernah kami para penumpang boat terpaksa terjun ke laut menyelamatkan diri karena dalam boat sudah penuh tumpahan air laut,’’ kata Heri. Mereka lalu berpegangan pada sisi boat, sebelum perahu kayu ini dikeringkan sampai bisa dinaiki lagi.

Di Sikakap, istri Heri mesti pandai-pandai bersiasat dengan keterbatasan uang mereka agar kebutuhan selama sepekan dapat dibawa. Maklumlah, harga di sini tak seperti di Padang atau Jakarta. Bayam seikat kecil saja, harganya mencapai Rp 3000. Apalagi beras.

Heri dan istri biasanya membeli sayuran yang cukup tahan lama tanpa disimpan di kulkas, yaitu kentang dan labu jipang. ‘’Kentang dan labu jipang jadi favorit kami. Bukan karena hobby, tapi terpaksa,’’ ujar Heri berkelakar. Begitupun, ia tetap menikmatinya dengan rasa syukur, untuk membunuh rasa bosan.

Usai belanja, Heri mengajak istrinya bersilaturahim ke keluarga Ustadz Hasan Basri Pasaribu. Ustadz Hasan Basri adalah da’i senior Dewan Da’wah di Sikakap. Saat gempa dan tsunami melanda Pulau Pagai tahun 2009, kediaman famili sang ustadz jadi posko bersama LAZIS Dewan Da’wah dan Al Azhar Peduli Umat.

Waktu di Sikakap juga dimanfaatkan Heri untuk berbagi kabar dengan LAZIS Dewan Da’wah Pusat. Rabu sore, saat ombak sudah agak tenang, barulah mereka menumpang boat kembali ke Tubeket.

Aktif Mengajar

Rutinitas harian Heri dan istri berlangsung pada pukul 08.00-12.00 WIB, dengan mengajar di Sekolah Dasar Tubeket. Ba’da Dzuhur, sang istri mengajar anak-anak Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA). Setelah enam bulan berlangsung, jam belajar TPA digeser jadi ba’da Ashar dan ba’da Maghrib sampai Isya.‘’Alhamdulillah, anak pertama kami lahir, sehingga jam belajar TPA digeser mundur,’’ terang Heri, yang kini jadi bapak dari Mush’ab Syahmuda.

Setiap Jum’at dan Ahad shubuh, mereka mengadakan muraja’ah tahfidz Qur’an. Alhamdulillah, kini sudah beberapa santri yang menyelesaikan Juz 30 dan tengah melanjutkan hafalan Juz 1.

Salah satu prestasi anak-anak Tubeket adalah mendapatkan Juara II Putra-Putri Tahfidz Tilawah/Non Tilawah dan Adzan di ajang MTQ Tingkat Kabupaten di Muara Siberut tahun 2012. ‘’Prestasi anak-anak itu membuat kami bangga dan bersemangat menggali lagi potensi anak-anak Tubeket,’’ ujar Heri. (nurbowo)


latestnews

View Full Version