KLATEN (voa-islam.com) – Ketika diri kita pada hari ini mengaku sebagai seorang muslim, maka perjalanan hidup yang harus dijalani tentu berdasarkan tuntunan Islam. Islam datang dengan penuh kesempurnaan, yang menyempurnakan syariat-syariat terdahulu yang telah dibawa oleh utusan Allah lainnya, yakni para Nabi dan Rosul sebelum Nabi Muhammad SAW.
Hal ini sebagaimana disampaikan Ustadz Dr. H. Amir Mahmud al-Ma’ruf, S.Sos kepada voa-islam.com disela-sela mengisi kajian tematik “Pemikiran Dan Peradaban Islam – Islam Dalam Menumbuhkan Karakter” dimasjid Al Huda Belangwetan, Klaten, Jawa Tengah, pada Senin (8/4/2013) lalu.
Menurutnya, seorang muslim tidak dibenarkan mengikuti nilai-nilai, tata cara dan sistem kehidupan bermasyarakat serta bernegara orang-orang jahiliyyah maupun orang kafir. Sebab, lanjut Dosen Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) ini menjelaskan, bahwasanya Islam telah menurunkan sebuah pedoman dalam kehidupan manusia secara kaffah (sempurna) melalui Al Qur’an dan As Sunah.
“Nah, disinilah kemudian ada beberapa hadits yang salah satunya, man tasyabba bi qoumin fahuwa minhum, barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk kaumnya. Artinya apa disini, ketika kita hari ini mengaku sebagai muslim, tetapi kita meniru-niru, tanda petik, mengikuti nilai-nilai kehidupan jahiliyah, tata cara dan sistem kafirin, maka hal itu tidak betul,” ucapnya.
...Ketika kita hari ini mengaku sebagai muslim, tetapi kita meniru-niru, tanda petik, mengikuti nilai-nilai kehidupan jahiliyah, tata cara dan sistem kafirin, maka hal itu tidak betul...
Dalam praktek bernegera, Islam telah mengajarkan dan menuntunkan tata cara berpolitik sesuai Islam. Islam bukannya anti politik, Islam bukan pula tidak menghargai dan menyanjung orang yang berpolitik. Namun jika dalam berpolitik ternyata sistem dan tata caranya mengikuti sistem buatan orang kafir, seperti Sistem Demokrasi yang ada sekarang ini, maka tidak ubahnya seorang muslim tersebut dengan orang kafir.
“Sistem Islam dan Kafir berbeda, dan Islam punya aturan sendiri dalam hal itu (berpolitik -red). Jika kita seorang muslim tapi kita mengikuti aturan-aturan, tata cara-tata cara dan nilai-nilai yang berlaku dikalangan kaum kafirin, kaum jahili, maka kita termasuk mereka dan tidak ada bedanya sama sekali. Ini seharusnya menjadi perhatian besar pada diri kita” tegasnya.
Pakar peradaban dan pergerakan Islam ini melanjutkan bahwa, pengakuan dirinya seorang muslim yang paling utama adalah komitmennya. Komitmennya dalam berpegang teguh terhadap nash yang termaktub dalam Al Qur’an dan Sunah Nabi yang tidak boleh kita tinggalkan. Apa yang menjadi keyakinan kita sebagai seorang muslim itulah yang harus kita tekankan dan nampakkan.
“Jadi, jika memang kondisinya sekarang ini kita tidak bisa menjalankan politik Islam secara utuh, maka tidak mengapa kita mengikutinya, namun sebatas sebagai sarana dakwah, bukan sebuah tujuan. Makanya jika kita mengacu Al Qur’an surat Al Hajj pertengahan ayat 78 dikatakan, isyhadu bi ana muslim, tunjukkanlah kami sebagai seoerang muslim, ini tidak boleh kita ganda, dan berfikir ganda tidak boleh, ini tidak boleh. Saya tidak habis fikir jika ada orang yang mengatakan, saya seorang muslim, bagaimana caranya supaya dihargai oleh orang lain, itu gak bener,” imbuhnya.
...Seorang muslim tidak dibenarkan pula menggunakan alasan mashlahat dakwah dan upaya untuk menjalin ukhuwah dengan masuk sistem politik Demokrasi, namun disatu sisi menabrak aqidah...
Selain itu, Doktor bidang sosial dan kebudayaan Islam ini juga menambahkan bahwa seorang muslim tidak dibenarkan pula menggunakan alasan mashlahat dakwah dan upaya untuk menjalin ukhuwah dengan masuk sistem politik Demokrasi, namun disatu sisi menabrak aqidah.
Sebab, seorang yang mengaku dirinya sebagai muslim, yang pertama kali harus “di-Islamkan” adalah aqidahnya. Setelah itu baru meng-Islamkan ibadahnya, akhlaqnya, keluarga dan rumah tangganya kemudian masyarakat dan kehidupan bernegaranya.
“Mashlahat dakwah itu ukurannya apa? Ukhuwah juga sudut pandangnya seperti apa? Jika keduanya itu dijadikan alasan lalu dalam realitanya dia masuk kesitu ada ayat-ayat Alah diperolok-olok diam saja, maka (masuk -red) jahannam orang tersebut," jelasnya.
"Dalam Al Qur’an surat Al Maa’idah jelas disebutkan, jangan kita menjadikan orang-orang yang mengolok-olok ayat Allah sebagai pemimpin. Dalam ayat lain, kita diperintahkan untuk meninggalkan mereka. Jadi tidak boleh dan tidak benar itu memakai dua alasan itu, jika aqidah yang menjadi urusan pokok ajaran Islam ditabrak,” tandasnya. [Bekti]