View Full Version
Sabtu, 13 Apr 2013

Din: Wali Songo Pesantren Muhammadiyah Sasaran Pembantaian di Poso

JAKARTA (voa-islam.com) - Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin, MA, membantah keras pernyataan berbagai pihak yang meragukan keaslian video kekerasan yang dilakukan Densus 88 yang pernah dilaporkannya bersama MUI dan pimpinan Ormas-ormas Islam kepada Kapolri Jenderal Timur Pradopo beberapa waktu lalu.

Hal itu disampaikan Din Syamsudin saat memberikan pengantar diskusi Publik PP Muhammadiyah, yang mengusung tema; “Memberantas Terorisme tanpa Teror dan Melanggar HAM.”

Pertama, meragukan keaslian video itu. Kedua, ada statement itu bukan Densus, bukan Brimob tapi anggota Polda Sulteng. Ketiga, yang teraniaya dan sekarang masih hidup adalah pelaku mutilasi siswi Kristen. Ini terus terang dari data dan informasi, mungkin juga nanti ada kesaksian, bahwa itu tidak benar semuanya,” kata Din Syamsudin di Aula Gedung Dakwah PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (11/4/2013).

Din Syamsudin mengungkapkan bahwa kasus yang terjadi pada tahun 2007 di Tanah Runtuh Poso itu adalah residu konflik SARA.

“Ini adalah residu dari konflik SARA, sisa-sisa dari konflik SARA yang berdarah-darah dan kebetulan waktu itu saya ikut tim Menko Kesra Yusuf Kalla dalam pertemuan Malino untuk perdamaian Muslim dan Kristen di Poso kemudian juga Ambon,” ujarnya.

Ia juga menjelaskan bahwa saat terjadi konflik SARA di Poso, Pondok Pesantren Muhammadiyah, Wali Songo menjadi sasaran pembantaian.

Kemudian anak-anak yang selamat dimana mereka melihat orang tuanya dibantai diungsikan ke Pondok Pesantren Al Amanah, Tanah Runtuh, Poso. Tentu saja mereka memiliki memori yang sulit dihapus dan dendam kesumat sehingga memicu kasus kekerasan di Poso.

“Rupanya sisa-sisanya di Kilometer sembilan, ada pesantren Muhammadiyah, Wali Songo, saya datang ke situ, anak-anak usia SD, SMP menyaksikan bapak ibunya terbantai. Rekaman itu akan sulit hilang. Itulah yang kemudian diungsikan ke Pondok Pesantren  di Tanah Runtuh, semacam panti asuhan. Mungkin ustadz Adnan juga ikut membina. Memang tempat itu menjadi kamp bagi anak-anak dengan segala dendam kesumat,” jelasnya.

Kemudian, puncaknya adalah tatkala mereka hendak merayakan Idul Fitri lalu terjadi penyergapan oleh aparat.

“Pada suatu saat ketika terjadi perbedaan Idul Fitri, saat anak-anak di situ sedang menyiapkan Idul Fitri besok , tapi disambangi oleh operasi patroli sambang, terjadi clash, lalu berulang lagi itulah kejadiannya, menurut pemahaman dan keyakinan kami,” imbuhnya. [Ahmed Widad]


latestnews

View Full Version