JAKARTA (voa-islam.com) – Pada tahun 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengelurkan Fatwa Tentang Perdukunan (Kahanah) dan Peramalan (‘Irafah). Fatwa MUI bernomor: 2/MUNAS VII/MUI/6/2005 itu di keluarkan saat Musyawarah Nasional MUI VII, pada 26-29 Juli 2005 lalu.
Setelah menimbang, akhir-akhir ini semakin banyak praktek perdukunan (kahanah) dan peramalan (‘irafah) di masyarakat serta semakin marak tayangan media massa, baik cetak maupun elektronik yang berhubungan dengan hal tersebut.
Hal tersebut telah meresahkan umat dan dapat membawa masyarakat kepada perbuatan syirik (menyekutukan Allah), dosa paling besar yang tidak diampuni Allah SWT.
Untuk menjaga kemurnian tauhid dan menghindarkan masyarakat dari aktivitas yang dapat membawa kepada kemusyrikan, MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang Perdukunan (kahanah) dan Peramalan (‘iraafah) untuk dijadikan pedoman.
Mengingat Firman Allah Swt : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”. (QS. An Nisa’ [4] : 48)
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya”. (QS. An Nisa’ [4] : 116)
“… Barangsiapa yang mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-seolah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh”. (QS. Al Hajj [22] : 31)
Sedangkan mengacu Hadits Nabi Saw antara lain: “Orang yang mendatangi tukang ramal (paranormal) kemudian ia bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka shalatnya tidak diterima selama 40 malam” (HR. Muslim & Ahmad dari sebagian istri Nabi [Hafshah])
“Orang yang mendatangi dukun atau tukang ramal, kemudian membenarkan apa yang dikatakannya maka orang tersebut telah kufur terhadap apa yang telah diturunkan kepada Muhammad Saw”. (HR. Ahmad & al Hakim dari Abu Hurairah)
“Orang yang mendatangi (bersetubuh dengan) istri yang sedang haid, atau (bersetubuh dengan) istri dari duburnya atau mendatangi dukun kemudian membenarkan apa yang dikatakannya, maka sesungguhnya orang tersebut telah lepas (kafir) dari apa yang telah diturunkan kepada Muhammad Saw”. (HR. Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud & Ibnu Majah dari Abu Hurairah)
Dari Abu Mas’ud, Rasulullah Saw melarang pemanfaatan harga jual beli anjing, bayaran pelacuran (perzinahan) dan upah dukun. (HR. Bukhari & Muslim dari Abu Mas’ud)
“Kunci perkara ghaib itu ada lima, tidak ada seorang pun yang mengetahuinya melainkan Allah Ta’ala; (1) Tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang akan terjadi esok selain Allah Ta’ala, (2) tidak ada seorang pun mengetahui apa yang ada di dalam kandungan selain Allah Ta’ala, (3) tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan terjadinya hari Kiamat selain Allah Ta’ala, (4) tidak ada seorang pun yang mengetahui di bumi mana dia akan mati selain Allah Ta’ala, dan (5) tidak seorang yang mengetahui kapan hujan akan turun selain Allah Ta’ala”. (HR. Bukhari & Ahmad dari Ibnu Umar)
“Orang yang menggantungkan (memakai) jimat maka dia telah melakukan perbuatan syirik”. (HR. Ahmad, Thabrani & Al Hakim dari Uqbah bin Amir al-Juhany)
Adapun kaidah fiqihnya adalah, “Segala jalan yang menuju kepada sesuatu yang haram, maka jalan (wasilah) itu juga haram”. “Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan daripada menarik kemashlahatan”.
Fatwa MUI
Setelah memperhatikan Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII MUI 2005, MUI menetapkan Fatwa tentang Pedukunan (Kahanah) dan Peramalan (‘Iraafah). Fatwa yang ditetapkan di Jakarta, pada tanggal 28 Juli 2005, dan ditandatangani oleh Pimpinan Sidang Komisi C Bidang Fatwa, dengan Ketua KH. Ma'ruf Amin dan Sekretaris Drs. Hasanuddin, M.Ag, itu memutuskan:
Pertama, segala bentuk praktek perdukunan (kahanah) dan peramalan (‘iraafah) hukumnya haram.
Kedua, mempublikasikan praktek perdukunan (kahanah) dan peramalan (‘iraafah) dalam bentuk apapun hukumnya haram.
Ketiga, memanfaatkan, menggunakan dan/atau mempercayai segala praktek perdukunan (kahanah) dan peramalan (‘iraafah) hukumnya haram. [desastian]