JAKARTA (voa-islam.com) - Pelarian Basri pada Jumat pekan lalu terjadi bertepatan dalam konteks situasi Poso yang baru saja selesai Operasi Keamanan Maleo II. Dimana target operasinya adalah perburuan 21 DPO yang dicap ‘teroris’ oleh aparat kepolisian.
Dalam dua bulan terakhir Poso juga menjadi perhatian publik paska beredarnya video kekerasan oleh Densus 88 tahun 2007. Dimana Basri juga terkait langsung dengan rangkaian peristiwa tersebut.
Dan kasus ini paska investigasi Komnas HAM dalam dua bulan terakhir membuat posisi Densus 88 terpojok. Ditambah lagi langkah tokoh-tokoh masyarakat Poso dan Panja DPRD Poso terus berusaha mengadvokasi sebagian masyarakat Poso yang terzalimi secara fisik maupun verbal dengan cap Poso sebagai sarang teroris.
Menurut direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya agak aneh jika Basri yang divonis 19 tahun penjara bisa lari begitu saja.
“Jadi rasanya agak aneh, seorang Basri alias Bagong yang dicap Densus 88 sebagai gembong ‘teroris’ dengan status terpidana 19 tahun penjara bisa lari begitu saja. Bisa jadi ada pengkondisian yang memprovokasi Basri untuk lari, atau karena faktor kelalaian petugas ketika mengawal Basri untuk menjenguk keluarganya yang sakit parah, atau karena murni niat Basri untuk melarikan diri,” ujarnya kepada voa-islam.com, Kamis (25/4/2013).
Ia menduga adanya pengkondisian oleh pihak aparat yang memancing Basri untuk kabur. Indikasinya menurut fakta di lapangan pengawalan terhadap terlihat cukup longgar.
“Tapi jika berangkat dari fakta dilapangan, saya melihat adanya indikasi-indikasi pengkondisian. Dari sumber CIIA, Basri sebenarnya sudah sering keluar masuk dari penjara selama masa tahanan, bahkan karena sebuah kepentingan bisnis itu dilakukan. Nah, kali ini alibinya menjenguk keluarganya yang sakit, Densus 88 juga tahu dan ikut memantau aktifitas ini. Orang sekelas Basri dengan status terpidana 19 tahun dan cap ‘teroris’ kelas berat kenapa pengawalannya sangat longgar?” ungkap pemerhati kontra-terorisme itu.
Harits menilai pelarian Basri perlu dicermati, agar Densus 88 tidak membuat ulah di Poso sehingga menjadi pembenaran eksekusi mati dan perburuan 21 DPO lainnya.
“Karenanya, di balik pelarian Basri ini perlu dicermati. Jangan sampai menjadi celah atau pintu masuk Densus 88 bikin ulah lagi di Poso. Dan alasannya perburuan Basri sehingga ada alasan mengeksekusi mati, plus 21 DPO yang belum tertangkap. Jika ini terjadi maka eksesnya sangat mungkin akan kembali mengoyak kehidupan masyarakat Poso baik aspek sosial, keamanan maupun ekonominya,” ujarnya.
Lebih dari itu, jangan sampai kasus ini menjadi dalih menjaga eksistensi Densus 88 dan Poso seolah menjadi panggung drama Densus 88 dengan judul perburuan teroris.
“Dan dibalik itu semua kemungkinan targetnya adalah menjaga eksistensi Densus 88, memberikan jawaban atas desakan pembubaran Densus 88 dan Poso kembali dijadikan panggung dramanya dengan judul ‘perburuan teroris’, Tutupnya. [Ahmed Widad]