JAKARTA (voa-islam.com) – Koordinator Indonesia Journalist Forum (IJF) Mustofa B Nahrawardaya ditanya wartawan usai peresmian Media Center di Gedung Dakwah Muhammadiyah, bagaimana seharusnya sikap jurnalis dalam mengungkap kebenaran ketika tahu ada kejanggalan-kejanggalan yang dilakukan Densus 88 terkait isu terorisme? Sementara seorang jurnalis tidak bisa berbuat banyak ketika Pemimpin Redaksinya lebih berkuasa mengendalikan informasi terkait terorisme.
Menurut Mustofa, media itu punya tim kerja. Tidak bisa seperti menulis di Blog atau Citizen Journalism. Dalam kasus teroris, wartawan yang sudah terbiasa meliput kriminal tentu tahu mana kebohongan dan mana rekayasa.
“Saya 10 tahun liputan criminal, maka saya bisa merasakan kebohongan yang dilakukan. Ansyad Mbai kan ngaku sendiri, bahwa setiap operasi yang dilakukan Densus atas nama pemberantasan terorisme adalah sebuah pengalihan isu.”
Dikatakan Mustofa, kejujuran seorang jurnalis itu tetap nomor satu. Setidaknya bersikap kritis. Itu penting. Media bisa saja dibungkam, tapi tidak semua media bisa dibungkam. Kalau media seragam dalam memberitakan, ini namanya kejanggalan.
“Semua berita terorisme itu janggal. Saya menilai, pemberitaan tentang terorisme cenderung tidak fair. Semua media tidak coverbohtside soal terorisme. Media hanya mengandalkan satu mulut dari pihak kepolisian, yang sebetulnya tidak cukup dipercaya untuk memberi informasi. Yang namanya berita itu harus seimbang. Kalau hanya menjadikan polisi sebagai sumber, bagamana kita mempertanggungjawabkannya kepada masyarakat,” ungkap Mustofa.
Kompolnas Dipertanyakan
Lebih lanjut Mustofa mengatakan, sekarang terduga teroris sudah ditembak mati, sementara media hanya melalui satu pintu dari polisi sebagai satu-satunya sumber. Ada kesan, media dipaksa untuk mengakui bahwa informasi itu benar. Padahal, bagaimana kita bisa menjadikan polisi sebagai rujukan utama, sementara banyak juga oknum polisi yang nakal. Harusnya ada narsum lain yang bisa mengimbangi itu.
“Kita ketahui, Kompolnas bisa dibilang mandul. Padahal kerja Kompolnas itu seharusnya menjadi pengawas kepolisian, mengevaluasi dan menginformasikan kepada media, bukan malah menjadi kaki tangan polisi. Yang menjadi pertanyaan besar adalah apa yang membedakan Kompolnas dengan polisi?” tanya Mustofa,
Sangat disayangkan, jika antara pengawas dan yang diawasi sama, akibatnya jadi timpang. Silahkan masyarakat menyikapi dengan kritis. Jika sebelumnya masyarakat menilai polisi (densus) itu hebat, sekarang sudah berubah sikap dan pemikirannya. “Sekarang orang tidak bisa dibohongi dengan sandiwara seperti itu selamanya, mengingat polanya sama.” [desastian]