JAKARTA (voa-islam.com) – Dalam sejarahnya, kekuatan partai Islam itu awalnya merupakan kekuatan yang dahsyat. Namun dalam perjalanannya, seiring dengan perilaku elit politiknya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam, kekuatan itu mulai menurun.
Hal itu diungkapkan oleh pengamat politik dari LIPI Firman Noor Ph.D dalam Kajian Akbar “Partai Politik Islam, Solusi atau Masalah?”, Rabu (15/5) sore di Auditorium Juwono Sudarsono FISIP UI Depok.
Lebih lanjut Firman yang juga dosen FISIP UI, sikap pragmatis elit partai Islam juga belum berubah. Setidaknya ada 4 faktor yang menyebabkan kekuatan partai Islam itu menurun.
Pertama, factor internal capability. Harus diakui, partai Islam belum sepenuhnya bekerja secara maksimal berbuat sesuatu. Bahkan dalam level lokal saja, prestasi partai Islam belum ada yang mengagumkan.
Juga harus diakui, di tingkat internal, kita dibuat terperangah dengan perilaku elit politik partai Islam. Akibatnya masyarakat menjadi infeel. Ketidak-konsistenan figur partai Islam membuat umat kehilangan kepercayaan. “Berbeda dengan tokoh partai Masyumi dulu yang konsisten, sehingga masyarakat muslim berharap pada mereka,”kata Firman.
Problematika partai Islam juga meliputi kurangnya dalam hal jaringan, dana, dan dukungan media, termasuk ketokohan. Di tingkat internal, kerap terjadi friksi sehingga banyak energi yang terkuras untuk itu.
“Disamping itu, partai Islam juga belum siap menghadapi kompetitor. Kita tahu, partai Islam akan bertarung dengan partai yang juga ingin menang. Ketika sikap pragmatis menguat, ideologi partai menjadi tidak jelas, maka cara yang ditempuh adalah melakukan segala cara yang dianggap menguntungkan,” ungkap Firman.
Kata Firman, di sisi lain, kita dihadapkan dengan kondisi masyarakat yang sakit, dalam hal ini secara mental (meski tidak semuanya). “Ketika pragmatis itu begitu kuat, saya sempat mendapatkan gambar (foto) di sebuah kampung dengan spanduk yang dibentangkan, bertuliskan: “Ada uang ada suara. Siap menerima serangan fajar.”
Menurut Firman, ada tipe masyarakat dalam menyikapi situasi politik di dalam negeri. Ada tipe masyarakat yang apatis, kritis, cerdas, rasional, dan yang menggunakan referensi historis untuk mengambil sebuah sikap. Maka ini menjadi pekerjaan partai Islam di masa yang akan datang ketika menghadapi berbagai tipe masyarakat seperti itu.
Ada sanksi hukum dan moral ketika tokoh agama dan politisi melakukan pelanggaran. Tapi jika artis melakukan pelanggaran, dia akan semakin popular bahkan karirnya menanjak.“Nah kekecewaan masyarakat pada partai Islam akhirnya disalukan ke partai sekuler. Boleh jadi masyarakat sudah lelah sehingga menjadi pragmatis karena ulah elit partai politik yang bersangkutan. Saat ini masyarakat tidak butuh lagi jargon-jargon ideologi, tapi butuh kerja yang kongkrit dari sebuah partai Islam. Itu pun belum menjamin.”
Yusril Soal Kekuasaan
Sementara itu dikatakan Yusril Ihza Mahendra dalam kajian tersebut, fakta bahwa banyak orang menjadi berubah setelah menduduki kekuasaan adalah sesuatu yang jamak terjadi. Justru aneh dan unik jika seseorang setelah berkuasa bisa tetap dengan cara dan gaya seperti sebelum dia berkuasa. Lebih menariknya lagi, orang-orang yang dulu dianggap sebagai fundamentalis, radikal ataupun ekstrimis, bisa berubah 180 derajat setelah menduduki kekuasaan.
Bagi Yusril, seseorang itu tergantung di mana posisi tempat dia berada. “Posisi seseorang akan melahirkan corak pemikiran politik yang berbeda.” Dalam penjelasannya, Yusril membandingkan Jamaat Islami Pakistan pimpinan Syaid Abul A’la Al-Maududi – yang oleh banyak pihak dianggap sebagai sosok yang fundamentalis – dengan Muhammad Natsir yang dianggap lebih moderat dan akomodatif dalam bersikap serta melakukan pergerakan.
Menurut Yusril, hal itu disebabkan adanya posisi yang berbeda. Sejak awal Maududi dan jamaahnya tidak pernah terlibat dalam politik kekuasaan sehingga beliau bisa sangat ‘fundamentalis, berbeda dengan Natsir dengan Masyumi-nya yang sudah terlibat dalam kegiatan politik kekuasaan sejak dari mulai beraktifitas dalam politik praktis.
“Orang-orang Masyumi itu sejak awal sudah terlibat dalam politik, mereka berdebat nyata dan sengit di dalam parlemen dengan kubu komunis, sosialis dan sebagainya, berbeda dengan Maududi yang secara pribadi lebih banyak menulis risalah-risalah teoritis ‘keras’ dalam memberikan pemahaman politik kepada umat,” papar Yusril.
Yusril menyimpulkan, semakin jauh orang dari kekuasaan maka dia akan menjadi fundamentalis, begitu juga sebaliknya, semakin dekat orang dengan kekuasaan maka akan menjadi moderat. Pada poin ini, Yusril mencontohkan Anwar Ibrahim – mantan wakil perdana menteri Malaysia – yang dahulu aktif di ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia).
Anwar dulu menurut Yusril sangat fundamentalis, sebelum dia berkuasa dia sangat anti dengan sekolah-sekolah Cina yang ada di Malaysia dan dia sangat anti perjudian serta mengusulkan agar Genting Highland (kawasan Judi legal di Malaysia) untuk ditutup. Namun apa yang terjadi setelah beliau menduduki posisi menteri pendidikan? Sekolah-sekolah Cina tidak dia tutup dengan alasan bisa merusak stabilitas BN (Barisan Nasional) yang di dalamnya ada partai Cina. Begitu juga ketika Anwar menjabat sebagai menteri keuangan. Anwar tidak berani menutup Genting Highland dengan alasan kalau lokalisasi judi itu ditutup maka kerajaan tidak mendapat pajak, jelas Yusril.
“Orang fundamentalis ekstrimis kasih dia kekuasaan maka dia akan jadi moderat, sebaliknya orang yang moderat dalam kekuasaan singkirkan dia dari kekuasaan dia akan jadi fundamentalis.” tandas Yusril.
Bubarkan PKS
Dalam sesi tanya jawab, tokoh pendiri Partai Keadilan (PK) Mashadi yang hadir sore itu, mengaku merasa kecewa dengan ulah elit politik PKS yang kini terjerat kasus korupsi. Ia lalu membandingkan tokoh Masyumi M. Natsir yang hidupnya bersahaja.
“Orang yang dulu bersama saya seperti Lutfi Hasan telah ditangkap KPK karena kasus korupsi. Tidak masuk akal saja jika partai dakwah yang merupakan representasi dari Jamaah Ikhwanul Muslimin melakukan hal itu. Itulah sebabnya, saya mengingkan agar PKS dibubarkan saja, jual asset-asetnya, lalu minta maaf pada bangsa Indonesia,” tegasnya.
Dikatakan Mashadi, PKS telah gagal. Ia menyayangkan jika kader PKS all out membela pemimpinnya yang korup. “Kader PKS harus melakukan otokritik, jangan mempertahankan sesuatu yang salah,” kata Mashadi yang mendapat aplaus dari mahasiswa yang hadir. [desastian]