JAKARTA (voa-islam.com) – Demokrasi dan korupsi itu seperti dua sisi keping mata uang yang tidak bisa dilepaskan. Bahkan partai yang menamakan dirinya partai dakwah pun terjerembab dalam kubangan korupsi. Partai Islam dan partai bukan Islam sama saja.
Demikian dikatakan Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto kepada sejumlah wartawan dalam dialog “Mengenal Lebih Dekat: Konsep, Pemikiran dan Gerak HTI” di Hotel Borobudur, Jakarta, belum lama ini, Rabu (25/5).
Mengapa demokrasi erat dengan korupsi? “Karena praktek demokrasi yang sangat mengagungkan popular vote, dan merayu masyarakat untuk memilih, perlu biaya yang sangat besar. Dibutuhkan serangan udara (media elektronik) dan serangan darat (media ruang). Untuk mendukung itu, mereka harus berpikir bagaimana mencari dana yang besar. Meski pada akhirnya, terjebak dalam kubangan korupsi.”
HTI menyerukan, agar umat Islam stop mendukung demokrasi. “Bukankah negara kita bukan negara demokrasi, bahkan dalam konstitusi kita pun tidak menyebut negara demokrasi. Termasuk dalam Pancasila juga tidak disebutkan, tapi tiba-tiba muncul begitu saja.”
Lebih jauh Ismail Yusanto mengatakan, demokrasi bukan berasal dari Islam. Kita ingin menebarkan ketdakpercayaan pada demokrasi. Sebagai penggantinya adalah tegakkan syariah dan khilafah.
Dalam Muktamar Khilafah 2013 bertajuk “Perubahan Besar Dunia Menuju Khilafah” yang akan berlangsung di Jakarta Ahad mendatang, HTI menyoroti tiga hal, yaitu: demokrasi, nasionalisme dan separatisme.
Menyinggung soal gerakan separatis, HTI berpandangan, separatisme adalah tindakan yang menggerus kesatuan negeri-negeri muslim, sehingga kedaulatan Islam menjadi terpecah. Karena itu HTI menolak gerakan separatisme. Begitu juga dengan HTI menolak nasionalisme. Menurut HTI, Nasionalisme adalah biang perpecahan umat. [desastian]