JAKARTA (voa-islam.com) – Ada sejumlah pihak diluar Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang menilai, ormas yang mengusung syariah dan khilafah ini telah rancu memaknai demokrasi. Disatu sisi menolak demokrasi, tapi disisi lain mendatangi parlemen (DPR) untuk memberi masukan. HTI kemudian dinilai tidak konsisten atas penolakannya terhadap demokrasi. Benarkah HTI tidak konsisten?
Menanggapi penilaian itu, Juru Bicara HTI Ismail Yusanto membantah anggapan tersebut. “Kami memandang HTI justru konsisten. Kedatangan HTI ke DPR tidak bisa dijadikan sebagai bukti HTI inskonsistensi. Juga tidak bisa dimaknai HTI mengakui atau membenarkan demokrasi.”
Ismail menjelaskan, secara faktual DPR itu ada, dan HTI tidak hendak menolak fakta. “Tidak masuk akal jika HTI menolak fakta soal keberadaan MPR, DPR, DPD, Presiden ataupun Wapres. Jadi, barang itu sudah ada.
Dalam pandangan HTI, para aktivisnya punya kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, yang ditujukan kepada siapapun, terutama mereka yang memiliki kewenangan atau otoritas. “Jika bicara peraturan per-undang-undangan, maka yang punya otoriotas itu adalah DPR. Maka kita datang ke DPR untuk menjalankan peran amar ma’ruf nahimunkar. Diharapkan DPR membuat perundang-undangan yang benar,” ujarnya.
Kedatangan HTI ke DPR, tidak lantas berkurang atas penolakannya terhadap demokrasi. Jadi ada dua hal yang berbeda. “Penolakan terhadap demokrasi itu basisnya paham. Sedangkan Kedatangan kami ke DPR dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar. [desastian]