View Full Version
Senin, 03 Jun 2013

MIUMI: Gugatan Syiah kepada Ketua MUI & Gubernur Jatim Tidak Beralasan

JAKARTA (voa-islam.com) – Sejauh ini umat Islam sudah bersikap toleran kepada non muslim. Hal itu bisa dibuktikan dengan tidak ada tindakan diskriminasi umat Islam terhadap masyarakat non muslim dalam di bidang ekonomi, politik, social dan budaya.  Termasuk dalam hal pembangunan rumah ibadah.

Demikian dikatakan Wakil Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Ustadz Fahmi Salim kepada voa-islam di secretariat Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jakarta.

“Kalau pun ada persoalan, itu karena tidak dipenuhinya prosedur SKB Tiga Menteri yang berlaku. Tidak benar, jika umay Islam dinilai intoleran,” kata Fahmi Salim yang juga aktif di DMI.

Ketika ditanya, apakah SBY layak mendapat penghargaan World Statesman Award oleh Appeal of Conscience Foundation (ACF) di New York, AS, belum lama ini?  Bagi Fahmi Salim, Itu hak SBY untuk menerima penghargaan tersebut. Hanya saja SBY tidak bisa bersikap tegas, terutama yang menyangkut peraturan SKB Tiga Menteri, baik kasus Ahmadiyah maupun Syiah.

Untuk kasus Syiah, Fahmi Salim mendudukan masalahnya menjadi dua bagian. Pertama, dari segi ajaran. Kedua, dalam hal penanganan konflik social.  “Dari segi ajaran, kasus Syiah di Sampang jelas menyimpang dari ajaran Islam sesungguhnya. Terlebih ajaran Syiah mengajarkan doktrin-doktrin tertentu. “

Adapun soal penanganan konflik social, hendaknya pemerintah SBY mendukung Fatwa MUI Jawa Timur. Bukan malah menggugat ataupun membatalkan Fatwa ulama tersebut. Fatwa itu hak prerogative ulama.

“Tentu saja penanganan konfllik sosial harus ada mekanismenya. Dalam hal ini Kepala Daerah harus tahu kebutuhan masyarakatnya. Secara pribadi, saya tidak setuju jika harus mengusir masyarakat Syiah di Sampang, mengingat itu kampung halaman mereka sendiri. Bahkan, mata pencaharian mereka juga disitu.”

Tapi, kata Fahmi Salim, ia bisa memahami, jika masyarakat Sunni di Sampang menghendaki agar kelompok Syiah keluar dari wilayah tersebut. Mengingat, kelompok Syiah kerap melanggar perjanjian yang seharusnya disepakati. “Kita harus memahami psikologi dibalik konflik ini.”

Seperti diketahui, kelompok Syiah seperti yang sudah disepakati, tidak menyebarkan ajaran Syiah di kalangan Sunni, khususnya di Sampang dan sekitarnya. Perjanjian itu dimulai sejak 2003. Eskalasi konflik selanjutnya terjadi di tahun 2011, hingga sekarang.  “Dalam hal ini ada ketidakjujuran dari pihak Syiah yang seharusnya menyepakati perjanjian.”

Jadi, buka semata mengusir orang tanpa sebab. Kalau tidak mau direlokasi, hormati perjanjian, agar tidak menyebarkan ajaran Syiah di kalangan masyarakat Sunni, terutama di Sampang. Kelompok Syiah juga hendaknya tidak mencaci maki sahabat Rasulullah seperti Abu Bakar, Umar dan Utsman ra. Bagi Muslim Sunni, menghina sahabat Nabi sama saja menghina Rasulullah Saw.

“Sunni-Syiah bisa damai, kalau kaum Syiah tidak mengajarkan ajarannya di Indonesia. Selama ini kita tahu, kelompok Syiah tak ubahnya misionaris yang menebarkan ajarannya melalui paket santunan, memberi beasiswa dan bantuan social lainnya. Ini meresahkan di kalangan Muslim Sunni. Bahkan kelompok Syiah mengiming-imingi materi kepada masyarakat setempat agar keluar dari Sunni untuk kemudian berpindah ke Syiah.”

Belakangan isu Syiah ditarik pada persoalan kebangsaan. Tapi inti persoalannya adalah jangan pengaruhi orang untuk menjadi Syiah. “Sangat aneh, jika kelompok Syiah mengajukan Judicial Review dengan menggugat PNPS ke MK. Tapi mereka akhirnya ditolak MK. Ahmadiyah saja ditolak. Kini mereka malah menggugat Presiden SBY, Ketua Umum MUI, Ketua MUI Jatim, hingga Gubernur Jatim, dengan tuduhan telah bersikap intoleran. Saya kira gugatan itu sangat tidak beralasan, dan aneh saja.” [desastian]


latestnews

View Full Version