Yogyakarta (voa-islam.com) - Keinginan Polisi Wanita (Polwan) mengenakan jilbab sebagai pakaian dinas mendapat dukungan dari Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). MMI juga mengecam petinggi Polri yang melarang Polwan yang beragama Islam untuk berjilbab.Larangan itu jelas tindakan melawan hukum dan HAM, serta memicu SARA.
Menurut MMI, berdasarkan Amanat konstitusi UUD 45 Ps. 29 ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
Undang-undang HAM Ps. 28E ayat (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Keinginan Polwan berjilbab justru untuk menciptakan harmonisasi iman dan perbuatan dengan tumbuhnya semangat beragama dilingkungan Polri. Semangat menyemarakkan kehidupan beragama di negeri ini juga sebagai upaya penangkalan dekadensi moral bangsa yang semakin terpuruk di bawah pengaruh sekulerisme dan liberalisme hedonis di Indonesia.
“Keinginan Polwan untuk berjilbab adalah bentuk semangat masyarakat melenyapkan upaya destruktif dan segala bentuk kemungkaran, kebejatan,” tegas MMI dalam pernyataan sikapnya, 11 Juni 2013 lalu. .
MMI juga menyesalkan Pernyataan Kabag Penum Div Humas Polri Kombes Pol Agus Riyanto yang mengatakan, “Polwan berjilbab hanya berlaku di Aceh. MMI menilai pernyataan tersebut merupakan penindasan logika hukum tindakan melawan konstitusi UUD ‘45.
Sebab, pemakaian jilbab merupakan hak beragama bagi polwan tidak hanya berlaku di Aceh, karena konstitusi UUD 45 Ps 29 pasal (1) dan (2) memerintahkan kepada Negara, termasuk Kepolisisan sebagai aparat Negara untuk memfasilitasi setiap warga Negara melaksanakan ajaran agama dengan sebaik-baiknya.
Keseragaman pakaian yang bersifat teknis administratif tidak boleh menjadi dasar menghalangi atau mempersulit Polwan RI memakai Jilbab, karena setiap Polwan RI terlindungi hak-haknya baik menurut konstitusi RI maupun HAM internasional. Oleh sebab itu, menghalangi Polwan Muslimah mengenakan jilbab sebagai bukti ketaatannya kepada perintah agama dapat dianggap bahwa POLRI telah melakukan tindakan melawan hukum dan HAM.
Picu SARA
MMI menegaskan, Peraturan di lingkungan kepolisian tidak boleh melanggar hak konstitusional dan HAM setiap anggota Polri. Segala peraturan yang bertentangan dengan dua hal ini otomatis batal demi hukum. Adanya anggota Polri yang berbeda-beda agama tidak dapat dijadikan alat pembenaran untuk menghapus hak para anggota Polwan untuk menjalankan keyakinan agamanya, karena keyakinan agama yang telah dijamin oleh UUD 45 Ps 29 ayat (2) kekuatannya jauh lebih tinggi dari peraturan apapun di lingkungan Polri.
Dalam keyakinan agama Islam, jilbab diwajibkan berdasarkan firman Allah: Qs. Al-Ahzab 33:59, “Wahai Nabi, perintahkanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri kaum mukmin untuk mengenakan jilbab….”
MMI memutuskan, apabila Polri melarang Polwan berjilbab, dengan alasan di lingkungan Polri terdapat beragam agama, berarti Polri memposisikan agama yang ada di Indonesia sebagai musuh bagi Polri. Sikap dan tindakan Polri yang demikian itu dapat memicu semangat SARA. Mungkinkah Negara akan menjadi baik apabila aparat pemelihara keamanan telah melakukan tindakan SARA?
Berdasarkan alasan-alasan di atas, maka dengan ini Majelis Mujahidin menyampaikan protes keras kepada Pimpinan Polri atas kebijakan bermotif SARA, berupa pelarangan Polwan Muslimah mengenakan jilbab dalam menjalankan tugas kedinasannya, dan akan membawa permasalahan ini ke lembaga yang berwenang bila tidak mendapat respons yang semestinya. [desastian]