JAKARTA (voa-islam.com) - Sejumlah kalangan menilai terbitnya PP No. 99 Tahun 2012 dinilai menzalimi hak-hak para narapidana. Peraturan tersebut digunakan pemerintah untuk memperketat hak-hak napi seperti pemberian remisi, Pembebasan Bersyarat, asimilasi, hak cuti menjelang bebas dan lain-lain.
Namun, PP tersebut hanya diberlakukan bagi narapidana tertentu saja seperti narkoba, terorisme dan korupsi. Tentu saja para napi tak puas atas peraturan tersebut hingga meletuslah kasus bobolnya penjara Tanjung Gusta, Medan pada Kamis (11/7/2013).
Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra menyoroti PP No. 99 Tahun 2012 tersebut. Menurut Yusril, hak-hak napi itu sudah diatur dalam Konvensi PBB tentang Perlakuan terhadap Narapidana dan detilnya diatur dalam Protokol Tokyo.
Konvensi itu kemudian diadopsi dalam UU Nomor Pemasyarakatan Tahun 1995. "Penjelasan Presiden di Halim kemarin hanya mengemukakan agar hak-hak dasar napi dipenuhi. Hak dasar napi berbeda dengan hak-hak napi. Hak-hak napi itu antara lain hak mendapat remisi, hak cuti menjelang bebas, mendapat asimilasi, hak mendapat bebas bersyarat dan sebagainya," kata Yusril, Minggu (14/7/2013).
Namun, katanya, pemenuhan hak-hak bagi napi itu ternyata diketatkan dengan Peraturan Pemerintan Nomor 99 Tahun 2012 yang mengatur Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan. Yusril menilai PP itu membuat adanya pembedaan bagi napi-napi tertentu. "Padahal tidak boleh ada pembedaan perlakuan terhadap napi," tegasnya.
Dipaparkannya, kebijakan pengetatan itu bahkan menghilangkan hak-hak napi sehingga menimbulkan keresahan yang meluas hampir di semua Lembaga Pemasyarakatan. Karenanya, Yusril menyarankan Presiden segera minta Menkumham menjelaskan perbedaan hak-hak dasar napi sebagai manusia dengan hak-hak napi, agar dapat memahami persoalan.
"Tanjung Gusta hanya awal saja. Petugas LP juga dibuat pusing dengan PP 99 Tahun 2012 karena terkesan bahwa pemerintah mulai meninggalkan sistem pemasyarakatan, tapi kembali ke sistem penjara," ucap Yusril.
Surat Edaran Menkumham Terkait PP No. 99 Tahun 2012
Selanjutnya, sehari setelah kerusuhan LP Tanjung Gusta, Menkumham Amir Syamsudin kemudian menerbitkan Surat Edaran dengan Nomor M.HH-04.PK.01.05.06 tahun 2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberlakuan PP No. 99 Tahun 2012 sebagai berikut:
Memperhatikan berbagai penafsiran terhadap berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, khususnya berkaitan dengan pemberian remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat bagi pelaku tindak pidana terorisme, narkotika, dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, dengan ini kami jelaskan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 diberlakukan bagi narapidana yang putusan pidananya telah berkekuatan hukum tetap setelah tanggal 12 November 2012.
Dalam surat edaran tersebut dijelaskan bahwa PP No. 99 Tahun 2012 seharusnya diberlakukan bagi narapidana yang putusan pidananya telah berkekuatan hukum tetap setelah 12 November 2012.
Pada prakteknya para mujahidin yang ditahan karena tuduhan kasus terorisme diharuskan memenuhi persyaratan persis sebagaimana tertuang dalam PP No. 99 Tahun 2012. Hal ini seperti yang beredar di LP Pasir Putih, Nusakambangan, Cilacap.
Untuk diketahui, dalam PP No. 99 Tahun 2012, Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan tertulis sebagai berikut:
Pemberian Remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 juga harus memenuhi persyaratan:
a. bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;
b. telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi; dan
c. telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh LAPAS dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, serta menyatakan ikrar:
1) kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Indonesia, atau
2) tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Asing, yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme.
Menyikapi persyaratan yang tertuang tersebut, ustadz Abu Bakar Ba’asyir yang kini ditahan di sel Super Maximum Security LP Pasir Putih Nusakambangan, Cilacap menyampaikan tanggapannya.
Ulama sepuh yang kini sedang menjalani vonis zalim 15 tahun penjara itu dengan tegas menolak persyaratan untuk mendapatkan remisi dan PB seperti yang tercantum dalam peraturan di atas. bersambung [Ahmed Widad]