JAKARTA (voa-islam.com) – Ustadz Fahmi Salim MA menjelaskan, pada tahun 1945 saat Indonesia dalam proses menjadi negara berdaulat, masyarakat dan umat Islam Timur Tengah turut memberikan dukungannya.
Mereka, kata Wasekjen Majelis Intelektual Ulama Muda Indonesia (MIUMI) ini, melakukan demo dan turun ke jalan-jalan utama di negaranya masing-masing dalam rangka memberikan supportnya untuk kaum muslimin di Indonesia.
“Di jalan-jalan terjadi demonstrasi-demonstrasi dukungan kepada Indonesia oleh masyarakat Timur Tengah,” ujarnya kepada voa-islam.com pada Jum’at (16/8/2013) pagi.
...Di jalan-jalan terjadi demonstrasi-demonstrasi dukungan kepada Indonesia oleh masyarakat Timur Tengah...
Ketika terjadi serangan Inggris atas Surabaya tanggal 10 November 1945 yang menewaskan ribuan penduduk Surabaya, demonstrasi anti Belanda-Inggris pun merebak di Timur Tengah khususnya Mesir.
“Shalat Ghaib dilakukan oleh masyarakat di lapangan-lapangan dan masjid-masjid di Timur Tengah untuk mendoakan para syuhada yang gugur dalam pertempuran yang sangat dahsyat itu,” ujarnya.
“Yang paling mencolok dari gerakan massa internasional adalah ketika momentum Pasca Agresi Militer Belanda ke-1, 21 Juli 1947, pada 9 Agustus,” imbuhnya.
Pengurus Dewan Masjid Indonesia (DMI) ini menambahkan, saat kapal “Volendam” milik Belanda pengangkut serdadu dan senjata telah sampai di Port Said, ribuan penduduk dan buruh pelabuhan Mesir yang dimotori gerakan Ikhwanul Muslimin (persaudaraan kaum muslimin) berkumpul di pelabuhan itu.
...Mereka (masyarakat Timur Tengah termasuk Mesir -red) menggunakan puluhan motor boat dengan bendera merah putih -tanda solidaritas-...
“Mereka menggunakan puluhan motor boat dengan bendera merah putih -tanda solidaritas- berkeliaran di permukaan air guna mengejar dan menghalau blokade terhadap motor-motor boat perusahaan asing yang ingin menyuplai air dan makanan untuk kapal “Volendam” milik Belanda yang berupaya melewati Terusan Suez, hingga kembali ke pelabuhan,” ungkapnya.
“Kemudian motor boat besar pengangkut logistik untuk “Volendam” bergerak dengan dijaga oleh 20 orang polisi bersenjata beserta Mr. Blackfield, Konsul Honorer Belanda asal Inggris, dan Direktur perusahaan pengurus kapal Belanda di pelabuhan. Namun hal itu tidak menyurutkan perlawanan para buruh Mesir,” lanjutnya.
Akhirnya, kata alumni terbaik universitas Al-Azhar Kairo ini, sebagaimana dilaporkan wartawan 'Al-Balagh' pada 10 Agustsu 1947, rakyat Mesir berhasil menaiki kapal “Volendam” dan mengalihkannya ke jalur lain.
...Mudah-mudahan masyarakat Indonesia tidak lagi berkomentar ‘Ngapain ngurus Negara lain’?!...
“Motor-motor boat yang penuh buruh Mesir itu mengejar motor boat besar itu dan sebagian mereka dapat naik ke atas deknya. Mereka menyerang kamar stirman, menarik keluar petugas-petugasnya, dan membelokkan motor boat besar itu kejurusan lain,” tuturnya.
Dengan penjelasan ini, jelas ustadz Fahmi, tidak ada lagi masyarakat Indonesia yang sampai berucap, “Kenapa kita harus capek-capek membantu dan peduli dengan Negara lain?”. Sebab, saat Indonesia sedang terjajah, masyarakat Timur Tengah juga peduli dan membantu.
“Mudah-mudahan masyarakat Indonesia tidak lagi berkomentar ‘Ngapain ngurus Negara lain’?!,” pungkasnya. [Khalid Khalifah]