JAKARTA (voa-islam.com) - Menjadi penting, jika umat Islam memiliki TV sendiri. Diakui, aktivis islam itu besar semangatnya, tapi minim dana perjuangannya. Ormas Islam sebesar NU dan Muhmmadiyah saja belum mampu membuat TV nasional. Padahal dari segi SDM dan sumber infaqnya begitu besar. Demikian dikatakan Habib Rizieq Shihab kepada wartawan Islam yang tergabung dalam Jurnalis Islam Bersatu (JITU).
“Kalau pun sudah ada TV Islam seperti Insan TV, Roja TV, Alif TV, namun kebanyakan hanya focus di bidang dakwah saja dan sebatas ceramah saja. Padahal segmen pemberitaan (news) itu harus dikuasai oleh TV Islam.
“Ini perang media. Sangat efektif dalam pembentukan opini,” kata habib.
Ke depan JITU diharapkan Habib sudah harus memikirkan cita-cita besar itu. Termasuk merangkul dan melakukan penyusupan ke sebuah lembaga seperti Dewan Pers. Terlebih Dewan Pers, kabarnya dikuasai oleh orang liberal. Bahkan bila perlu, JITU punya Dewan Pers sendiri.
Habib juga berpesan kepada media islam untuk tidak gontok-gontokan, Jika media sekuler bersatu, maka jurnalis Islam juga harus bersatu dalam membentuk opini public. “Keberadaan media Islam sudah mengimbangi media sekuler, meski terkesan kedodoran. Ke depan tentu harus lebih baik lagi,” ungkap Habib
Habib mengaku kesal dengan beberapa stasiun televisi seperti Metro TV. Yang kurang ajar adalah ketika Metro TV menyiarkan berita “Anggota FPI ditangkap Densus karena terlibat penembakan polisi di Pondok Aren. Berita itu disiarkan berulang-ulang. “Atas kebodohan Metro TV, FPI sudah menyiapka surat pengaduan untuk membawa tujuh media(RCI, SCTV, TV One), termasuk Metro TV ke Dewan Pers.”
Yang membuat Habib muak dengan media sekuler adalah ketika FPI membuat pernyataan klarifikasi, namun televise tersebut tidak pernah memuatnya. Sementara berita yang menyudutkan FPI terus saja dilakukan berulangkali.
FPI membawa beberapa media TV ke dewan pers untuk membuatnya jera, sekaligus menunjukkan adanya etika jurnalistik yang dilanggar. “Jangan mentang-mentang media besar, punya akses dengan sejumlah pejabat, tidak bisa disentuh secara hukum.”(Desastian)