JAKARTA (voa-islam.com) – Terbukti sudah bahwa sistem demokrasi yang didengungkan kelompok sekuler dan liberal ternyata tidak bisa memberikan keadilan terhadap masyarakat secara menyeluruh, khususnya kepada rakyat kecil.
Jika yang melakukan tindak pelanggaran hukum rakyat kecil dan miskin, seaakan-akan hukum begitu kuat dan perkasa. Namun jika yang melakukan pelanggaran hukum orang kaya dan para penguasa, hukum menjadi mandul.
Hal ini sebagaimana kasus yang terjadi pada Soedjiono Timan, konsultan dan juga mantan Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Dirut PT BPUI) pada tahun 1995 sampai 1997.
Putusan Mahkamah Agung (MA) yang menganulir vonis Kasasi 15 tahun penjara terhadap Soedjiono Timan dan dibatalkannya ganti rugi Rp 1,2 triliun membuat masyarakat kehabisan kata-kata dan geleng-geleng kepala.
Tak hanya masyarakat dan tokoh bangsa dan lembaga anti korupsi yang heran dengan putusan tersebut. Internal MA juga dibuat terperanjat dengan vonis bebas yang penuh kontroversial tersebut.
...Sedih, putusan ini menyedihkan...
“Sedih, putusan ini menyedihkan,” kata mantan hakim agung Prof Dr Komariah Emong Sapardjaja, Selasa (27/8/2013) seperti dilansir detik.
Mantan hakim MA yang juga Guru Besar Universitas Padjadjaran (Unpadj) Bandung ini pensiun pada 31 Juli 2013 lalu, atau tepat pada hari dimana vonis Peninjauan Kembali (PK) Soedjiono Timan dikabulkan oleh MA.
Berdasarkan informasi dari media massa yang didapat, Komariah yakin banyak kejanggalan di balik vonis PK tersebut. Salah satunya adalah pertimbangan hakim yang mendasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Putusan MK No 003/PPU-IV/2006 tidak mengakui ajaran 'melawan hukum' dalam arti materiil sebagaimana dianut oleh Pasal 2 dan 3 UU No 31/1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. MK menganggap bahwa melawan hukum dalam arti materiil itu bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945.
“Jika dasar putusan (PK -red) tersebut adalah putusan MK, maka pemohon PK tidak bisa dilepaskan/ontslaag. Soal putusan MK ini juga tentang disertasi saya, saya berani berdebat,” ujarnya.
...Jika dasar putusan (PK -red) tersebut adalah putusan MK, maka pemohon PK tidak bisa dilepaskan/ontslaag...
Mantan dekan FH Unpadj ini seakan-akan masih tidak percaya jika hakim agung Suhadi, hakim agung Andi Samsan Nganro, dan dua hakim ad hoc Sofyan Marthabaya serta Abdul Latief mengabulkan PK Timan.
Sebab nyata-nyata, lanjut Komariah, Soedjiono Timan masih buron karena melarikan diri dari hukuman pengadilan dan sampai saat ini belum tertangkap oleh aparat.
“Soal kehadiran terpidana jelas diatur dalam pasal 266 KUHAP dan banyak yurisprudensi MA soal kasus ini. Sudah benar apa yang disampaikan Pak Krisna Harahap (hakim ad hoc tipikor di tingkat Kasasi/PK Prof Dr Krisna Harahap -red) soal hal ini,” pungkas Komariah.
Perlu diketahui bersama, Soedjiono Timan mengkorupsi uang negara di BUMN PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) sehingga negara mengalami kerugian keuangan sekitar Rp 2 triliun.
Pria kelahiran Jakarta 9 Mei 1959 ini merupakan seorang pengusaha asal Indonesia. Dan dari tahun 1995 hingga 1997 ia menjabat sebagai Dirut PT BPUI. Ia saat ini merupakan seorang buronan karena melarikan diri dari hukuman pengadilan.
...Soal kehadiran terpidana jelas diatur dalam pasal 266 KUHAP dan banyak yurisprudensi MA soal kasus ini...
Oleh pengadilan, Timan diputuskan bersalah karena telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai Dirut BPUI dengan cara memberikan pinjaman kepada Festival Company Inc. sebesar 67 juta dolar AS, Penta Investment Ltd sebesar 19 juta dolar AS, KAFL sebesar 34 juta dolar AS, dan dana pinjaman Pemerintah (RDI) Rp 98,7 miliar sehingga negara mengalami kerugian keuangan sekitar 120 juta dolar AS dan 98,7 dolar Singapura.
Pada pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Timan dibebaskan dari tuntutan hukum karena perbuatannya dinilai bukan tindak pidana, tapi hanya perdata saja.
Menanggapi vonis bebas itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan Kasasi dan meminta Majelis Kasasi menjatuhkan pidana sebagaimana tuntutan terhadap terdakwa yaitu pidana delapan tahun penjara, denda Rp 30 juta subsider enam bulan kurungan, serta membayar uang pengganti Rp 1 triliun.
Pada Jum’at, 3 Desember 2004, Majelis Kasasi MA yang dipimpin Ketua MA saat itu, Bagir Manan, Artidjo Alkostar SH (Anggota I), H Parman Soeparman SH (Anggota II), H Iskandar Kamil SH (Anggota III), Arbijoto SH (Anggota IV) memvonis Sudjiono Timan dengan hukuman 15 tahun penjara, denda Rp 50 juta, dan membayar uang pengganti sebesar Rp 369 miliar dan USD 98 juta atau total Rp 1,2 triliun.
Namun, saat Kejaksaan hendak mengeksekusi Sudjiono Timan pada Selasa, 7 Desember 2004, yang bersangkutan sudah tidak ditemukan pada dua alamat rumah yang dituju di Jalan Prapanca No. 3/P.1, Jakarta Selatan maupun rumah di Jalan Diponegoro No. 46, Jakarta Pusat dan dinyatakan buron dengan status telah dicekal ke luar negeri oleh Departemen Hukum dan HAM.
Pada 17 Oktober 2006, Kejaksaan Agung Republik Indonesia mulai menyebarkan foto dan datanya ke masyarakat melalui televisi dan media massa sebagai salah satu 14 koruptor buron kelas kakap yang sedang dicari.
Kini, di tingkat PK, Soedjiono Timan kembali lepas dalam perkara yang diketok pada 31 Juli 2013 lalu oleh hakim agung Suhadi. “Mengabulkan permohonan PK Timan. Membatalkan putusan kasasi. Ini perkara perdata (bukan pidana -red),” alasan Suhadi pekan lalu. [Khal-fah/dbs]