JAKARTA (voa-islam.com) – Dalam jumpa pers yang digelar kemarin, Rabu (4/9), MUI Pusat mengeluarkan tiga fatwa sekaligus tentang Rekayasa Genetika dan Produknya, Obat dan Pengobatan, serta Standar Kehalalan Produk Kosmetika dan Penggunaannya. Hadir dalam jumpa pers tersebut, yakni: Sekretaris MUI Pusat, DR. HM. Asrorun Ni’am Sholeh dan Direktur LPPOM MUI Ir. Lukmanul Hakim, MSi.
Salah satu hasil hasil kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah teknologi rekayasa genetika. Dalam kaitan itu, masyarakat mengharapkan penjelasan hukum Islam tentang praktek rekayasa genetika serta pemanfaatan produk yang dihasilkannya.
“Karena itu dipandang Majelis Ulama Indonesia perlu menetapkan fatwa tentang rekayasa genetika dan produknya guna dijadikan pedoman,” demikian dikatakan oleh Sekretaris MUI Pusat, DR. HM. Asrorun Ni’am Sholeh, MA dalam jumpa pers, Rabu (4/9), di sekretariat MUI, Jl. Proklamasi, No. 51, Menteng, Jakarta Pusat.
DR. HM. Asrorun Ni’am Sholeh menjelaskan, rekayasa genetika adalah penerapan genetika untuk kepentingan manusia, yakni penerapan teknik-teknik biologi molecular untuk mengubab susunan genetic dalam kromosom atau mengubah system ekspresi genetic yang diarahkan pada kemanfaatan tertentu, yang obyeknya mencakup hampir semua golongan organisme, mulai dari bakteri, hewan tingkat rendah, hewan tingkat tinggi, hingga tumbuh-tumbuhan.
MUI memutuskan dan menetapkan ketentuan hukum ihwal rekayasa genetika dan produknya sebagai berikut:
Pertama, melakukan rekayasa genetika terhadap hewan, tumbuh-tumbuhan dan mikroba (jasad renik) adalah mubah (boleh) dengan syarat: 1) dilakukan untuk kemaslahatan, 2) Tidak membahayakan (tidak menimbulkan mudharat) baik pada manusia maupun lingkungan. 3) Tidak menggunakan gen (DNA) atau bagian lain yang berasal dari tubuh manusia.
Kedua, tumbuh-tumbuhan hasil rekayasa genetika adalah halal dan boleh digunakan, dengan syarat: bermanfaat dan tidak membahayakan.
Ketiga, hewan hasil rekayasa genetika adalah halal, dengan syarat: 1) hewannya termasuk dalam kategori ma’kul al-lahm (jenis hewan yang dagingnya halal dikonsumsi), 2) bermanfaat, dan 3) tidak membahayakan.
Keempat, produk hasil rekayasa pada produk pangan, obat-obatan, dan kosmetika adalah halal dengan syarat: bermanfaat, tidak membahayakan, dan sumber asal gen pada produk rekayasa genetika bukan berasal dari yang haram.
Fatwa ini ditetapkan di Jakarta, 3 Agustus 2013 (25 Ramadhan 1434 H), ditandatangani oleh Ketua Komisi Fatwa MUI Prof. DR. H. Hasanuddin AF, MA, dan Sekretaris MUI, DR. HM. Asrorun Ni’am Sholeh, MA. [desastian]