JAKARTA (voa-islam.com) – Pluralisme agama kini telah menyelinap di dalam keseharian hidup kita. Paham itu berseliweran dalam berita televisi, di laman internet, novel, lirik lagu, sampai promosi kebebasan beragama. Ini harus diwaspadai.
Demikian dikatakan oleh Direktur Eksekutif INSISTS, Adnin Armas, dalam sebuah diskusi dan bedah buku “Pluralisme Agama: Telaah Kritis Cendekiawan Muslim” di sekretariat INSISTS di Jl. Kalibata Tengah, Jakarta Selatan, belum lama ini.
Menurut Adnin, kini seruan-seruan Pluralisme agama itu lebih halus disampaikan. Banyak orang yang tak terlalu mengerti bagaimana isi paham ini justru turut serta mengucapkannya. Niatnya mungkin mengabarkan perdamaian, mengajak pada persaudaraan. Namun, sayang dibalik kata-kata manis itu kadang menyelinap ide-ide pluralisme.
“Paham pluralisme terkesan menawarkan ketentraman jiwa dan kedamaian, padahal justru mengaburkan kebenaran, keselamatan, dan kerancuan mengenai gagasan ketuhanan. Paham baru inilah yang dikenal dengan Teologi Global.”
Tuhan, bagi penganjur paham pluralisme agama, ialah Tuhan universal Yang Esa (The One Universal God). Nama-nama Tuhan ini dapat saja berbeda. Setiap agama (dalam anggapan mereka) dapat melafalkannya dengan penyebutan yang tak sama. Mereka menyampaikan ajaran mengenai Kesatuan Transenden Agama-agama.
Inilah tantangan yang sedang dihadapi umat Islam tentang gagasan kebenaran adalah milik bersama semua agama. Menurut pengusung pluralisme agama, dalam setiap agama terdapat kebenaran dan banyak jalan menuju kebenaran. Katanya, kebenaran bukan milik Islam semata atau hanya milik satu agama tertentu saja.
Ajaran menyesatkan itu dikemukakan oleh sederet pemikir Barat, seperti: Rene Guenon, Frithjof Schuon, Seyyed Hossein Nasr, Wilfred Cantwell Smith, John Harwood Hicks, Paul Knitter, John B Cobb Jr, Ananda Kentish Coomaraswamy, Raimundo Panikkar dan lain-lain.
Gagasan Syirik
Ini menunjukkan gagasan syirik tersebut merasuk dalam kehidupan beragama, termasuk kaum muslimin. Gagasan syirik ini telah beredar dan berkembang di Indonesia.
Masih segar dalam ingatan, ketika tokoh Pluralisme Agama Munir Mulkhan menyatakan: “Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri, terdiri banyak pintu dan kamar, Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap agama memasuki kamar surganya. Syarat memasuki surga ialah keikhlasan, pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan, kekerasan dan ketakutan tanpa melihat agamanya. Inilah jalan universal bagi semua agama. Dari sini kerjasama dan dialog pemeluk berbeda agama jadi mungkin.”
Yang membuat kita prihatin adalah gagasan syirik tersebut justru digagas oleh kalangan cendekia yang punya latar pendidikan formal yang tinggi. Melihat kondisi inilah, INSISTS, sebuah lembaga berhimpunnya kalangan cendekiawan muslim berupaya mencounter dan meluruskan paham syirik para pengusung paham pluralisme agama.
Yang menarik, Direktur INSISTS Adnin Armas, yang juga Pemimpin Redaksi Majalah Gontor, telah menelusuri asal muasal dan argumentasi kelompok Transendentalis dengan tokoh-tokohnya seperti Rene Guenon, Frithjof Schuon, Seyyed Hossein Nasr dan lain-lain. Rene Guenon misalnya, ternyata ia adalah seorang Freemason yang berkenalan dengan tokoh teosofi dan berbagai gerakan spiritual yang lain.
Pemikiran dalam tasawuf biasanya digunakan sebagai pintu masuk untuk mencari pembenaran bagi gagasan syirik tersebut. Gagasan Ibn al’Arabi termasuk sering dijadikan acuan untuk memberi pembenaran bagi gagasan semua agama, sama benar.
Tapi kemudian, Mohd Sani Badron, seorang intelektual asal Malaysia yang pakar tentang Ibn al’Arabi membantah pandangan itu melalui tulisannya yang berjudul “Ibn al’Arabi tentang Pluralisme Agama”. Menurut Sani Badron, Ibn al’Arabi bukanlah sosok yang menyamakan kebenaran setiap agama, sebagaimana sering digambarkan oleh kelompok Transendentalis.
Ibn al’Arabi, bahkan menyatakan dengan jelas dan tegas, bahwa orang-orang Yahudi dan Kristen adalah Kafir, karena mengingkari kebenaran ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. [desastian]