JAKARTA (voa-islam.com) - Sejak 1950-an Australia rutin memata-matai Indonesia, kata Philip Dorling, kolumnis The Canberra Times dalam tulisannya "Canberra doesn't trust Jakarta" pada harian terkemuka Australia, Sidney Morning Herald, hari ini.
"Pertumbuhan besar jejaring telepon mobile (Indonesia) adalah anugerah besar (bagi Australia) dan elite politik Jakarta adalah gerombolan orang yang royal bicara. Bahkan saat mereka (elite Indonesia) menganggap dinas intelijennya sendiri sedang mencermati (aktivitas mata-mata), mereka terus saja ngomong," kata sang mantan agen rahasia Australia itu.
"Kabar bahwa dinas mata-mata elektronik, Defence Signals Directorate, telah menyasar percakapan telepon Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono tidaklah mengejutkan ratusan, bahkan ribuan, agen rahasia, diplomat, birokrat dan politisi Australia," kata Dorling mengawali tulisannya.
Mengapa kita (Australia) melakukan itu? Dorling menjawab sendiri pertanyaannya itu, bahwa di balik segala pernyataan persahabatan dan bertetangga baik oleh berbagai pemerintah Australia, Canberra memang sebenarnya tak mempercayai Jakarta.
"Kita (Australia) bekerjasama erat dengan Indonesia, termasuk dalam bidang keamanan dan intelijen, tapi kita tidak mempercayai mereka (Indonesia)," tulis Dorling.
Indonesia di mata Australia, kata Dorling, tidak seperti Australia memandang Selandia Baru yang dianggap sekutunya, sebaliknya Australia selalu khawatir suatu saat Indonesia akan menjadi ancaman.
Selandia Baru dianggap sebagai salah satu dari program mitra "Five Eyes" atau lima sekutu terpercaya Australia.
"Kita telah memata-matai Jakarta sejak lama," kata Dorling.
Dorling lalu menutup tulisannya dengan mengatakan kasus penyadapan Yudhoyono ini akan sangat mempermalukan Australia, namun negeri itu tak akan berhenti memata-matai Indonesia.
Beda Sikap SBY & Suharto Soal Penyadapan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, Indonesia akan meninjau ulang sejumlah kerja sama dengan Australia menyusul adanya laporan upaya penyadapan negara tersebut ke sejumlah pejabat tinggi negara di Asia termasuk Indonesia.
"Kita juga akan meninjau kembali sejumlah agenda kerja sama bilateral, akibat perlakuan Australia yang menyakitkan itu," kata Presiden dalam akun twitternya @SBYudhoyono di Jakarta, Selasa dini hari.
Menyikapi sikap SBY, mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra menilai, meski menarik Dubes RI di Australia, sikap pemerintah masih lunak dan meski membuat Presiden SBY menarik.
"Pemerintah Indonesia sekarang ini masih bersikap lunak terhadap Australia yang nyata-nyata telah gunakan fasilitas kedubesnya lakukan penyadapan," tulis Yusril dalam akun twitter @Yusrilihza_Mhd, ditulis Selasa (19/11).
Yusril menyebut, respon SBY dalam penyadapan kali ini berbeda dengan sikap Seoharto yang pernah dimata-matai Uni Soviet pada 1970. Kala itu, Soeharto langsung mengusir diplomat Soviet di Jakarta sekaligus menutup akses penerbangan ke Indonesia.
"Penerbangan Airoflot dari Moscow ke Jakarta juga ditutup oleh Pemerintah Suharto," imbuhnya.
Kata Yusril, kalau jadi Presiden dan disadap maka bakal lebih tegas. "Kalau saya yang jadi Presiden, sudah saya usir Dubes Australia yang salah gunakan fasilitas diplomatik dan meremehkan bangsa dan negara ini," tegas dia. (jafaar/voa-islam.com)