JAKARTA (voa-islam.com) Ada tiga misi luhur ketika Indonesia merdeka 68 tahun silam, yaitu kemandirian di bidang ekonomi, berdaulat di bidang politik, dan berkepribadian di bidang budaya. Namun semboyan yang di kenal sebagai Trisakti kemerdekaan ini kini sudah dilupakan oleh pemimpin Indonesia.
Sejarah mencatat, sekitar dua bulan sebelum proklamasi, atau Mei 1945, para pendiri negara mempersiapkan perangkat-perangkat yang dibutuhkan sebuah negara yang berdaulat. Dan pada 28 Mei dibentuklah suatu badan yang diberi nama BPUPKI, yang diketuai Dr. Radjiman Wediodiningrat.
Badan yang punya anggota sebanyak 62 orang ini, pada sidang pertama (29 Mei 1945) membahas apa dasar negara yang akan terbentuk nanti. Dari 62 anggota, 35 orang yang berlatar belakang Islam menghendaki Islam sebagai dasar negara. Selebihnya, kaum nasionalis atau kebangsaan tidak menginginkan peran agama dalam negara.
Setelah melalui perdebatan yang seru dan panjang, dan dicapainya kompromi politik, pada 22 Juni 1945 akhirnya panitia ini berhasil merumuskan suatu konsensus politik yang mencerminkan dan mewadahi aspirasi semua golongan. Konsensus para founding father tesebut kini kita kenal dengan nama Piagam Jakarta.
Pada 18 Agustus 1945, atau sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Bung Hatta, mengusulkan agar tujuh kata dalam Piagam Jakarta, yakni: “dengan kewajiban syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, dihilangkan dari teks Piagam Jakarta itu. Hal ini karena ada keberatan dari tokoh-tokoh Indonesia dari bagian timur yang tidak menghendaki adanya kata-kata yang kesannya hanya menyangkut satu golongan saja dari masyarakat Indonesia, kendati pun golongan itu mayoritas.
Konon tokoh-tokoh dari bagian timur negeri ini mengancam memisahkan diri dari negara yang akan dibentuk itu apabila ketujuh kata tersebut tidak dicabut dari Piagam Jakarta yang merupakan Pembukaan UUD 45. Di samping itu ada kekhawatiran bahwa pihak Belanda yang berusaha untuk menguasai Indonesia kembali, akan memanfaatkan kelompok yang tidak menghendaki ketujuh kata tersebut. Jika demikian, maka persatuan dan kesatuan Indonesia bisa pecah (Silalahi, 2001).
Revolusi fisik dan hukum dari rakyat wajib di kedepankan, karena semua pintu masuk utama bagi kapitalisme global yang mencengkram melalui ini sudah berjalan, berikut indikasinya :
1) Yang pertama melalui kebijakan ekonomi via LOI, World Bank, IMF, ADB, dan lain-lain. Para aktor dan agen utama tak lain berasal dari mafia Barkeley dan pendukung neoliberalnya. output itu semua adalah mayoritas rakyat terlempar jadi miskin. Sumber daya alam Indonesia dikuras habis untuk memperkaya negara tertentu dan memakmurkan sebagian antek serta aktor aktor dalam dunia bisnis di tanah air. Sebaliknya rakyat Indonesia terjajah secara ekonomi terutama umat Islam.
Masalah kegelisahan umat Islam pada lembaga UIN yang condong kepada Sepilis (Sekularisme, Pluralisme, Liberalisme) belum tuntas adanya. Bahkan kini semakin berani, buktinya bible bebas berkeliaran di lembaga pendidikan Islam yang seharusnya menjadi benteng terakhir dalam memperkuat aqidah umat. Ini sama saja 'gol bunuh diri' di kandang sendiri!
Contoh saja, di UIN Jakarta Fakultas Ushuludin yang esensinya menjadi fakultas pengemban dakwah Islam ini malah menjebol gawang sendiri dengan mengundang agama - agama lain yang telah jelas kesesatan dan permusuhannya kepada Islam dan mencoba mendakwahkan agama mereka kepada para mahasiswa UIN.
Pada salah satu stand agama Kristen tanpa sungkan membagi-bagikan paket berupa Al Kitab (Injil), Komik Kristen, Mazmur, dan buku Kristen kepada para mahasiswa yang mengunjungi stand tersebut dengan terlebih dahulu didakwahi agama Kristen.