JAKARTA (voa-islam.com) - Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendesak ahli obat (farmakolog) untuk segera menemukan zat lain sebagai pengganti beberapa enzim seperti enzim babi yang digunakan dalam pembuatan beberapa jenis vaksin seperti pada vaksin polio dan meningitis agar tidak meresahkan kaum muslim.
"Segera temukan obat pengganti dari obat yang mengandung enzim tersebut (enzim babi), agar kita dan konsumen tidak terpaku pada keharaman obat," ujar Ketua MUI, Amidhan, kepada Antara di Jakarta, Kamis.
Sebelumnya, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengatakan penggunaan enzim babi pada obat tertentu ini dilakukan karena belum ada penggantinya.
"Hanya segelintir obat yang bermasalah (mengandung enzim babi) seperti beberapa obat pengencer darah dan beberapa jenis vaksin hal ini karena hingga saat ini belum ditemukan pengganti enzim tersebut," ujar Ketua Bidang Kajian Obat dan Farmakoterapi IDI, Masfar Salim, di Kantor IDI, Jakarta Pusat, Kamis.
Menanggapi hal ini, Amidhan mengatakan pada saat terdesak boleh mengonsumsi obat yang mengandung enzim tersebut, namun harus dikaji terlebih dahulu, sehingga masyarakat diimbau untuk mengutamakan obat yang halal.
"Tidak boleh mengutamakan obat yang tidak halal untuk dikonsumsi," kata Amidhan.
IDI juga mengatakan para dokter berusaha memberikan informasi pada pasien terkait adanya kandungan enzim yang tidak halal dalam obat sehingga pasien dapat mengambil keputusannya sendiri, meski begitu tidak semua dokter mengetahui secara pasti semua kandungan pada obat.
"Kami menginformasikan dan memberikan pilihan pada pasien tapi tidak setiap dokter mengetahui secara pasti semua kandungan dalam obat yang akan diberikan, karena kami hanya meresepkan bukan pembuat obat," ungkap Masfar Salim.
Minimnya informasi halal yang tertera pada obat menyulitkan pihak dokter maupun konsumen dalam mengonsumsi sebuah obat. Hal ini pun diutarakan Masfar Salim yang merasa membutuhkan informasi tersebut.
"Informasi obat itu lengkap cuma tidak ada halal atau haramnya, saya juga berharap kedepannya ada buku panduan yang menginfokan halal atau tidaknya suatu obat untuk para dokter," kata Masfar Salim.
Masfar Salim juga menambahkan dengan adanya buku panduan para dokter dapat dengan pasti memberikan obat yang pasti pada pasien sesuai syariat agama Islam.
Kontroversi Vaksin Babi Untuk Jamaah Haji
Belum juga selesai kontroversi hingga kini pada produk farmasi yang disinyalir mengandung babi, padahal sempat mencuat 2010 silam pada temuan Lembaga Pengkajian Pangan dan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Sumatera Selatan (Sumsel) bahwa Vaksin Meningitis mengandung babi yang diwajibkan oleh pemerintah Arab Saudi untuk disuntikkan kepada para calon haji.
Namun Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyepakati jamaah haji diperbolehkan menggunakan vaksin meningitis dengan alasan kedaruratan sampai ada penemuan vaksin yang bebas enzim babi. Jika memang demikian farmakolog segera menemukan obat penggantinya.
MUI juga telah bersidang pada 6 Juni 2009 yang akhirnya mengeluarkan fatwa haram terhadap vaksin meningitis karena setelah diteliti, diketahui bahwa vaksin itu terbukti mengandung enzim babi. MUI sendiri telah beberapa kali melakukan pertemuan dengan Dubes Arab Saudi untuk Indonesia Abdurrahman Muhammad Amin Al Ayat juga langsung bertemu mufti dan pemerintah Arab Saudi untuk mempertanyakan kewajiban penggunaan vaksin meningitis bagi calon jamaah haji dan umrah.
"Ada unsur babi (porcine) yang dipergunakan untuk pembiakan bibit vaksin Meningtis tersebut" ungkap Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama 2010 silam
Anna Priangani dari LPPOM MUI menyatakan, bahan babi yang digunakan sebagai media dalam pembuatan vaksin meningitis adalah lemak babi (gliserol). Kandungan zat haram itu ditemukan dalam penelitian LPPOM MUI Sumsel bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang. Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Pusat, Husniah Rubiana Thamrin, juga membenarkan, dalam proses pembuatan vaksin meningitis bersentuhan dengan unsur babi–kendati sudah melalui proses ekstraksi.
Wacana vaksin meningitis haram pun mencuat.
“Tidak ada yang bebas enzim babinya untuk semua media yang digunakan untuk membiakan vaksin meningitis,” kata Ketua Dewan Eksekutif Yayasan YARSI Jurnalis Uddin dalam diskusi tentang vaksin meningitis di Universitas Yarsi, (4/8/2010).
Rencana membahas status vaksin meningitis gagal digelar. Sebuah sumber menyatakan ada upaya memepetkan persoalan itu dengan pelaksanaan ibadah haji, agar keharaman vaksin itu bisa dima'fukan (dibolehkan) karena faktor kedaruratan.
Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri), pimpinan Baluki Ahmad, mendesak MUI dan pemerintah segera membuat keputusan tentang status hukum enzim ini. Menurut dia, MUI harus membuat keputusan yang tepat. ”Jika penyakit Ini tidak endemik dan tidak menular di Indonesia walaupun hanya bentuk pencegahan, vaksin ini tidak terlalu penting atau tidak darurat. Kalau pada akhirnya darurat, saya tidak setuju, harus dicarikan jalan keluar dengan tetap mencari vaksin yang halal.” Baluki bertekad akan menyarankan jamaah umrah dan haji agar tidak perlu disuntik vaksin, jika MUI dan pemerintah menetapkan status darurat.
“Saya lebih baik menyarankan tidak usah disuntik jika statusnya darurat. Ini harus ada legitimasi hukum yang jelas. Umat jangan dikorbankan karena persoalan-persoalan tertentu,” katanya menegaskan
Akhirnya MUI menyatakan bahwa vaksin meningitis tetap haram, tapi membolehkannya dengan alasan darurat. Yang boleh menggunakan vaksin atas nama kedaruratan adalah yang baru pertama kali naik haji dan orang yang telah bernazar untuk umrah.
Astagfirullah, jadi jangan heran sepulang haji atau umroh banyak jamaah yang menjadi lemah iman lantaran kemasukan vaksin babi dalam tubuh. Wallahu'alam [rol/antara/muhammad/voa-islam.com]