SURAKARTA (voa-islam) - Warung Angkringan atau biasa juga disebut warung hik di Solo adalah fenomena yang umum di masyarakat Solo, Jogja dan sekitarnya. Warung ini biasanya terdiri dari satu atau beberapa meja besar memanjang dengan didampingi ‘kursi’ panjang sebagai tempat para pembeli duduk sambil menikmati hidangan yang dijajakan secara berjejer diatas meja. Atau dengan menggunakan gerobak yang difungsikan sebagai meja dan dinaungi kain yang menjadi tudung.
Sejarah Ankringan
Angkringan adalah tempat alternatif bagi masyarakat yang menyukai kesederhanaan dalam memenuhi kebutuhan akan makanan dan minuman. Warung makanan yang ditata secara terbuka dengan berbagai menu yang khas daerah ini juga sering dijadikan ajang silaturrahmi antar tetangga dengan nuansa santai. Mulai dari Sego Kucing, Tempe dan Tahu Bacem hingga telur ayam puyuh yang disajikan dalam bentuk seperti sate, Karak, Rambak serta berbagai gorengan biasanya tersedia. Kita juga bisa memesan kopi panas, teh hangat, es teh ataupun air perasan jeruk yang menyegarkan. Bahkan ada juga Hik atau angkringan yang menyediakan susu segar asli Boyolali.
Sejarah angkringan di Jogja sebagaimana yang ada di tempat lainnya seperti Solo, merupakan sebuah romantisme perjuangan menaklukan kemiskinan.Angkringan di Jogjakarta dipelopori oleh seorang pendatang dari Cawas, Klaten bernama Mbah Pairo pada tahun 1950-an. Cawas yang secara adminstratif termasuk wilayah Klaten Jawa Tengah merupakan daerah tandus terutama di musim kemarau. Tidak adanya lahan subur yang bisa diandalkan untuk menyambung hidup, membuat Mbah Pairo mengadu nasib ke kota Jogjakarta. Mbah Pairo bisa disebut pionir angkringan di Jogjakarta.
Usaha angkringan Mbah Pairo ini kemudian diwarisi oleh Lik Man, putra Mbah Pairo sekitar tahun 1969. Lik Man yang kini menempati sebelah utara Stasiun Tugu sempat beberapa kali berpindah lokasi. Seiring bergulirnya waktu, lambat laun bisnis ini kemudian menjamur hingga pada saat ini sangat mudah menemukan angkringan di setiap sudut Kota Jogja. Angkringan Lik Man pun konon menjadi yang paling dikenal di seluruh Jogja, bahkan di luar Jogja.
Pada masa Mbah Pairo berjualan, angkringan dikenal dengan sebutan ting-ting hik (baca: hek). Hal ini disebabkan karena penjualnya berteriak “Hiiik…iyeek” ketika menjajakan dagangan mereka. Istilah hik sering diartikan sebagai Hidangan Istimewa Kampung. Sebutan hik sendiri masih ditemui di Solo hingga saat ini, tetapi untuk di Jogja istilah angkringan lebih populer. Demikian sejarah angkringan di Jogjakarta bermula. (mysukmana.wordpress.com)
Angkringan Ngruki
Dukuh Ngruki sebenarnya terletak di wilayah kabupaten Sukoharjo, namun dengan adanya Pondok Pesantren Al Mukmin yang didirikan beberapa tokoh Dakwah Islam yang kemudian mendunia, Ngruki lebih sering disebutkan masuk kedalam wilayah kota Solo. Karena memang pusat kota Solo jauh lebih dekat dijangkau warga Ngruki ketimbang Sukoharjo itu sendiri. Sebagaimana yang umum ditemukan, warung angkringan atau hik ini juga dapat ditemui disekitar Ngruki. Angkringan di Ngruki biasanya buka sejak ba’da sholat Ashar hingga menjelang tengah malam. Berbagai menu makanan dan minuman yang dapat dibeli dengan harga murah serta terjangkau kalangan masyarakat bawah.
....ketika menjelang waktu sholat kemudian azan sholat berkumandang si pemilik warung segera bergegas meninggalkan warung angkringannya menuju ke mesjid. Dan membiarkan warung angkringannya tanpa khawatir akan kehilangan dagangannya...
Ditilik dari segi menu dan harga, angkringan di Ngruki tidak berbeda dengan angkringan lainnya. Namun ada keunikan yang memiliki nilai tersendiri yang ditemukan crew Voa Islam sewaktu berkunjung ke kota yang disembut Amsyad Mbai sebagai ‘Sarang Teroris’ ini. Crew kami mencoba menikmati makan dan minum di angkringan di Ngruki, tempatnya bersebrangan dengan Pondok Al Mukmin. Ketika menjelang waktu sholat kemudian azan sholat berkumandang si pemilik warung segera bergegas meninggalkan warung angkringannya menuju ke mesjid. Dan membiarkan warung angkringannya tanpa khawatir akan kehilangan dagangannya.
Fenomena yang sama juga akan ditemukan saat siang hari di sebuah warung sayur yang letaknya tidak berjauhan dengan warung akringan tadi. Dimana kalau pagi hari dilayani oleh pemilik warung sampai siang menjelang tapi jika hari semakin siang warung akan ditinggalkan pemiliknya dan dagangan yang tersisa hanya akan diberikan kertas bertuliskan harga. Pemiliknyapun tidak ada kekhawatiran kehilangan barang dagangannya.
Bukankah kejujuran sudah menjadi barang langka di tengah masyarakat kita? Di Ngruki, kejujuran masyarakatnya merupakan hasil nyata pembinaan Dakwah yang dilakukan selama bertahun-tahun oleh para da’i muslim di Solo dan Ngruki secara khusus. Diantara pembinanya itu adalah para tokoh Islam Solo yang dituduh BNPT sebagai tokoh teroris itu, bisakah BNPT jujur mengakuinya? (Abu Fatih/Voa-islam.com)
TULISAN TERKAIT:
1. Ngerinya Siksa atas Pendusta; Wajah Disobek Dengan Besi Sampai Tengkuk
2. Jaga Lisanmu, Banyak Orang Celaka Karena Lisannya
3. Sinyalemen Nabi: Banyak Pemimpin Bejat dan Hina di Akhir Zaman