JAKARTA (voa-islam.com) - Sistem demokrasi kalo di bahas dengan akal sehat dan menimbang kenyataan dilapangan tidak seindah bahasa retorika di buku-buku dan kampus-kampus. Karena faktanya lebih dari 60 tahun Indonesia merdeka pun tak merasakan kemerdekaan hakiki. Lebih tepatnya tetap menjadi objek perampokan oknum partai politik melalui katabelece penguasa.
Sebut saja skandal bank Century dan bank BNI 46 yang dibobol untuk mendanai salah satu parpol memenangkan pemilu. Tahun 2014 yang juga merupakan tahun politik sering menjadi kekhawatiran beberapa pihak akan adanya peristiwa pembobolan bank.
Dalam sebuah kesempatan, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengatakan agar semua pihak mewaspadi Bank Pembangunan Daerah (BPD) dan Bank Perkreditan Rakyat.
Menurutnya, kedua bank tersebut harus mendapat pengawasan agar tata kelola perusahaan menjadi lebih baik. Mengingat kedua bank tersebut sangat dekat dengan kegiatan pemerintah daerah.
"Ada yang diwaspadai secara umum misalnya BPD, itu dekat sekali dengan kegiatan pemda dan perlu dijaga good governance-nya, BPR juga. Sehingga kita tidak ingin hal-hal seperti itu (pembobolan bank)," katanya di Gedung BI, Jakarta, Jumat (17/1).
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto mengatakan, angka korupsi di Indonesia semakin meroket menjelang pemilu. "Pada pemilu-pemilu sebelumnya selalu ada kasus yang menjebol keuangan negara," ujarnya.
Ia mencontohkan sebelum Pemilu 1999, terjadi kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dari anggaran sebesar Rp 600 triliun, ada sekitar Rp 100 triliun yang tidak jelas. Bahkan, sampai saat ini pemerintah harus membayar bunganya.
Pada 2004, sebelum Pemilu 2005, lanjutnya, terjadi pembobolan BNI 46 Kebayoran Baru dengan letter of credit (LoC) atau surat utang bodong senilai Rp1,7 triliun. Pelaku pembobolan bank ini adalah Dirut PT Gramarindo, Maria Pauline Lumowa.
Sedangkan pada 2008, sebelum Pemilu 2009, terjadi kasus pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.
Bambang memaparkan pola pengerukan keuangan negara selalu berulang menjelang pemilu. Ia mencontohkan sebelum Pemilu 1999, terjadi kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dari anggaran sebesar Rp 600 triliun, ada sekitar Rp 100 triliun yang tidak jelas. Bahkan, sampai saat ini pemerintah harus membayar bunganya.
Pada 2004, sebelum Pemilu 2005, lanjutnya, terjadi pembobolan BNI 46 Kebayoran Baru dengan letter of credit atau surat utang bodong senilai Rp 1,7 triliun. Pelaku pembobolan bank ini adalah Dirut PT Gramarindo, Maria Pauline Lumowa.
Sedangkan pada 2008, sebelum Pemilu 2009, terjadi kasus pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Akibat dari kebijakan ini, negara harus menggelontorkan dana talangan atau bail out sebesar Rp 6,7 triliun. KPK baru menetapkan satu orang tersangka dalam kasus ini, yaitu Budi Mulya.
Karena itu, Bambang menilai hasil survei lembaga Transparency International (TI) bukan merupakan akhir dunia. Menurutnya, kenyataan korupsi di Indonesia yang masih buruk harus menjadi masukan dalam upaya memberantasnya.
"Saya hanya mau katakan, hasil survei ini bukanlah kiamat. Survei Corruption Perception Index (CPI) ini bisa menjadi ukuran lain yang penting dalam pemberantasan korupsi, tapi jangan dianggap yang paling penting," kata Bambang. Tokoh yang akrab disapa BW ini menambahkan hasil survei CPI ini jangan dilihat begitu saja.
Secara metodologis, survei itu memang dapat dipercaya, tetapi tidak bisa menjadi justifikasi terhadap semua upaya yang dilakukan dalam pemberantasan korupsi. Apalagi, hasil survei ini diambil dari satu kelompok tertentu, dalam hal ini pengusaha atau pelaku bisnis sehingga tidak dapat menilai secara keseluruhan atau holistik.
Beginilah Pemilu, modal besar tapi hasilnya? Apa pendapat anda? [brbs/umar/voa-islam.com]