Sahabat Voa Islam,
Jin dan hantu penunggu pohon sedang cuti bareng. Posisinya sementara ini diambil alih ratusan ribu banner dan foto Caleg (peserta kompetisi Pemilu 2014). Beruntung hingga hari ini tak ada aktivis lingkungan yang sableng. Bikin aksi balasan. Bakar dupa kemenyan dan kembang tujuh rupa. Di bawah pepohonan bergambar logo partai
Tapi bukan isu sayangi pohon dan cinta lingkungan melulu yang membuat publik meradang. Ongkos. Dari mana sumbernya? Ini interogasi yang perlu dipacu. Betapa sempurnanya Indonesia mengadopsi sistem politik Amerika. Pola Amerikanisasi Politik —-sebagaimana dibahas dalam buku Firmanzah, Dekan Fakultas Ekonomi UI, yang berjudul Persaingan, Legitimasi Kekuasaan, dan Marketing Politik, adalah persaingan kekuasaan yang super mahal.
Amerikanisasi politik itu bak perang bintang. Selebrasi di televisi. Political showbiz (politik sebagai seni pertunjukan), dengan bertiang pada iklan, bersandar pada kemasan, bertumpu di aneka spanduk, baliho, poster, sampai sticker, dan rupa-rupa cara untuk merampas pandangan mata. Kalaupun ada sisi berbeda antara Amerikanisasi politik asli di negeri Paman Sam itu dengan kita, tak lain adalah: di sana biaya politik semata untuk sosialisasi dan jual gagasan, sementara di kita biaya politik adalah semua itu ditambah dengan duit untuk menyogok.
Di sini, kampanye harus mengandalkan popularitas sekaligus isi tas. Ringkas kalimat: justru biaya politik kita bergunung-gunung lebih tinggi dari negara manapun. Perputaran uang dalam skala raksasa yang tak jelas ujung pangkalnya.
Maka peragaan kampanye di negeri ini seperti melihat karnaval semesta. Ruwet. Kotor. Sesak. Jauh lebih miris ketika benak berputar-putar dengan pertanyaan: adakah Indonesia sudah sekaya Brunei Darussalam, sehingga begitu banyak penghamburan?
Sementara jawaban yang tersedia adalah lelucon. Dulu di 2009, ada istilah bahwa kemenangan SBY terjadi karena faktor SBY fans club. Itu benar, tapi kurang lengkap. Presiden dari Partai Demokrat ini unggul (kata para pesaing yang sinis), karena faktor SBC, alias Soesilo Bambang Century. Tak kurang-kurang spekulasi nyinyir lain, semisal isu import belasan kontainer kain warna biru dari China, karena stok bahan itu sudah habis di dalam negeri. Warna biru itu tentu bahan untuk kampanye partai berlogo The Mercy.
Tapi tak ada asap kalau tak ada api. Betapa mencengangkan bahwa baliho ukuran jumbo bertebaran hingga ke pelosok desa. Kalangan internal demokrat, saat itu, bukan kerepotan mencari stock atribut kampanye, melainkan bingung bagaimana cara menghabiskannya. Luar biasa gegap gempita operasi pencitraan partai yang menang saat itu.
Sangat wajar untuk curiga. Partai lain yang sudah mapan dan malang melintang sekalipun tak sanggup menyaingi modus kampanye Demokrat. Lagi-lagi, menyeruak tanya: dari mana uangnya?
Satu-satunya sandaran adalah melihat pola yang kerap terjadi. Konon ada tradisi membuat bangkrut sebuah bank, lalu dikucurkan dana talangan, untuk dialirkan ke rekening pemenangan partai. Saat itu, yang menjadi biang geger adalah Bank Century. Lantas terulang lagikah pola yang sama?
Sepertinya tidak. Elit politik pasti ingat, tak ada kebohongan (kejahatan) yang sempurna. Mungkin juga nasehat bijak Abraham Lincoln, mantan Presiden AS menjadi patokan. Menurutnya, Anda dapat membohongi semua orang dalam satu waktu, … tetapi anda tidak dapat membohongi semua orang sepanjang waktu. Tak mungkin kebohongan yang sama dilakukan dalam momen berbeda.
Meski begitu, bukan berarti kontestasi Pemilu 2014 bisa bebas dari perampokan uang negara. Ada begitu banyak peluang untuk dilakukan bancakan. Kalau tidak Bank, tentu BUMN. Jika sempit tak ada kesempatan, masih ada jalur lain. Menyisir celah APBN. Mengeksploitasi hasil sumber daya alam. Mendompleng program populis untuk kepentingan partai (dulu, misalnya, program BLT). Kalaupun semua itu agak riskan dilakukan hari ini, maka ada satu potensi. Mari simak apa yang digaungkan oleh FITRA (Forum Transparansi Anggaran). LSM pro pemberantasan korupsi itu menyebut peluang korupsi Pemilu 2014 lewat pintu optimaliasasi anggaran.
Bagaimana?
Pertama, dana optimalisasi adalah skema anggaran up to date yang disusun oleh pemerintah dan disetujui oleh DPR. Mekanismenya jauh lebih cepat, dan tidak berproses sebagaimana pagu anggaran yang lain. Angka-angka yang muncul sangat besar (tahun ini, mencapai Rp. 24 Triliun), untuk menutupi kebutuhan dana segera. Tentu saja ini rawan permainan. Karena lepas dari kontrol publik.
Kedua, dana optimalisasi hadir tanpa disertai dengan nomenklatur (susunan aturan) yang terperinci. Dana ini semata muncul dari proposal usulan setiap kementrian, dengan alasan guna menunjang kinerja, dan sumbernya (disebut) dari efisiensi anggaran sektor lain, dan diperbolehkan sejauh tak mengakibatkan defisit anggaran. Inipun peluang besar, untuk menggeser alokasi dana ke sana sini.
Ketiga, cadangan anggaran yang begitu besar, mencapai 24 Triliun, sementara persiapan untuk mengolah dana itu begitu singkat. Ingat, dana optimalisasi adalah “permainan di ujung”. Dibahas ketika plafon usulan APBN yang lebih detil telah dikerjakan. Para pihak yang terlibat tak memiliki desain khusus, mulai dari perencanaan, pembahasan, pelaksanaan, dan lain sebagainya. Lubang hitam terletak di situ. Mereka yang punya otoritas bisa mengkapling dana besar itu untuk program yang bernuansa pemenangan politik.
Keempat, adanya celah yang bersifat mutualis simbiosis (hubungan saling menguntungkan). Pemerintah dan parlemen diburu dalam waktu tergesa, untuk memenangkan kepentingannya. Pemerintah butuh persetujuan anggaran dengan cepat, sementara orang-orang partai di Senayan butuh alokasi dana. Inilah yang disebut dengan coalition of convenience (koalisi saling menyenangkan). Pola ini telah menjadi siklus per lima tahunan. Periode yang selalu lahir di tahun politik —seperti sekarang ini.
Inilah lubang hitam yang sesungguhnya. Asal muasal dana besar saban Pemilu memang seperti hantu, terasa ada tapi tak terlihat. Korban telah banyak bertumbangan. Mulai dari BUMN (yang selalu) mengaku rugi. Bank yang collapse. Program sosial yang menyimpang. Hingga penyerapan APBN yang tak tetpat sasaran. Jelas skenario ini tak termasuk uang recehan lain yang hangus dalam pertarungan Pemilu, yang bersumber dari dana pribadi para pemain politik. Yang kita bicarakan adalah dana raksasa. Dari mana sumber lainnya, kalau tidak yang kita perbincangkan barusan?
Begitulah sistem demokrasi. Biaya besar. Tapi hasil nya???
[Endibiaro/umar/voa-islam.com]