JAKARTA (voa-islam.com) - Megawati seperti karang. Tak bergeming menghadapi tekanan-tekanan dari berbagai kelompok kepentingan yang menginginkan Jokowi dicalonkan sebagai calon presiden di pilpres 2014.
Mega seperti tidak peduli dengan kuatnya tekanan (pressure) dari berbagai kalangan, bahkan internal PDIP, yang menginginkan segera di deklarasikan Jokowi sebagai calon presiden.
Bahkan, ada kelompok-kelompok yang “nekat” dengan membentuk PDIP Projo (PDIP Pro-Jokowi), yang mengancam menggembosi PDIP dan Mega, kalau hanya Jokowi dicalonkan sebagai cawapres. Mereka sudah sangat “kebelet” ingin Indonesia dipimpin Jokowi.
Kelompok “Projo” itu, sudah membentuk berbagai gerakan, melakukan kampanye dengan sangat luar biasa, dan mendapatkan dukungan media seperti Kompas dan Tempo.
Gerakan itu, dilegitimasi dengan hasil survei yang dibuat oleh Kompas, dan berbagai media, yang menempatkan ‘manusia’ dadakan dari Solo, Jokowi, sebagai calon nomor “wahid”, dan tak ada bandingannya.
Menurut Mega perjuangan PDIP tidak digantungkan kepada tokoh, dan tujuannya semata-mata merebut dan berambisi kepada kekuasaan, tetapi PDIP perjuangannya dengan landasan ideologi, dan jangka panjang.
Ideologi menjadi basis gerakannya. Bukan populeritas seseorang, meskipun PDIP diuntungkan oleh populeritas Jokowi, ujar Mega. Inilah yang menyebabkan sampai hari ini, mengapa PDIP tidak segera mendeklarasikan Jokowi menjadi calon presiden.
Sebagian kalangan PDIP, mengatakan bahwa Jokowi bukanlah kader “ideologis” dari PDIP. Kalangan PDIP masih meragukan komitmen Jokowi terhadap ideologi PDIP, sebagai partainya “wong cilik”, yang bersumber dari ajaran Bung Karno, tentang “Marhaenisme” (kerakyatan). Ideologi kerakyatan ini, nampaknya ingin dijadikan acuan kembali dalam gerakan politik yang dibangun Mega.
Tentu, inilah yang harus diuji lebih dahulu, terutama terhadap Jokowi. Apakah ia benar-benar seorang “Marhaenis”, atau sekadar menempel kepada PDIP dan Megawati demi kepentingan kekuasaan.
Megawati seorang anak kandung Soekarno, sekarang berbicara tentang “ideologi” di tengah-tengah kehidupan pragmatis, yang tampak di seluruh partai-partai politik. Tak ada yang tidak melakukan pragmatisme politik. Semua kekuatan politik dan tokoh politik melakukan pragmatisme politik. Semuanya orientasinya kekuasaan semata.
Adakah Mega memahami ucapannya? Karena, ketika Mega berkuasa juga melakukan prgamatisme politik, dan berkiblat ke Amerika dalam membuat kebijakan ekonomi. Tentu, paling penting pertanyaan kepada Mega, yaitu Jokowi itu kader ideologis, atau pragmatis? *mshd.