JAKARTA (voa-islam.com) - Pemilu legislatif dan pemilu presiden 2014 ini, tidak akan menghasilkan perubahan apapun. Karena calon legislatif 2014 ini, 90 persen masih wajah lama. Pemilihan presiden juga tidak akan menghasilkan pemimpin baru, masih tetap wajah lama, yang didominasi partai-partai besar.
Istilah yang dikenal dengan "4 L", alias "lu lagi, lu lagi, lu lagi, lu lagi". Andaikata, keputusan MK yang mengabulkan gugatan Yusril Ihza Mahendra itu, diberlakukan tahun 2014, maka akan lahir wajah baru pemimpin Indonesia. Tetapi, ini tidak bisa lahir, karena banyak kepentingan partai-partai besar, yang membingkai keputusan MK.
Yusril Ihza Mahendra merasa sangat kecewa dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatannya tentang pemilu serentak, tetapi pelaksanaannya baru di tahun 2019. Yusril Ihza Mahendra menilai putusan MK soal Pemilu serentak tahun 2019 penuh dengan misteri.
Yusril menduga MK yang dipimpin Hamdan Zoelva itu ditekan oleh Parta Politik besar agar Pemiiilu serentak baru dilaksanakan pada tahun 2019 mendatang. "Kini, saya sedang pertimbangkan, apakah saya akan meneruskan permohonan atau tidak. Saya akan ambil keputusan setelah menimbang dengan seksama," ujar Yusril melalui akun twitter resmi @Yusrilihza_Mhd, Kamis (23/1/2014).
Ia mencurigai Akil Mochtar sebagai mantan Politikus Golkar yang disebut menahan pembacaan putusan permohonan Effendi Ghazali setahun lamanya. "Jika permohonan saya dengan Efendi banyak kesamaannya, mengapa MK tak satukan saja pembacaan putusan, agar dua permohonan sama-sama jadi pertimbangan," tandas mantan Menkumham. Dengan penundaan pembacaan keputusan MK itu, memang menguntungkan partai-partai besar.
Sementara politisi Golkar, Hajriyanto mempertanyakan keputusan MK yang memperbolehkan UU Pilpres itu tetap diterapkan di 2014. Padahal MK sendiri telah memutuskan UU itu tidak konstitusional.
"Pertanyaannya kenapa kita dipaksa untuk melakukan Pemilu yang tidak konstitusional di 2014 baru di lakukan 2019. Keputusan MK sangat aneh, karena kita disuruh melakukan pemilu inkonstitusional di 2014," ungkapnya.
Hajri menilai argumentasi MK soal efisiensi pelaksanaan Pemilu dan Pilpres serentak sangat tidak masuk akal. Sebab jika hal itu diterapkan maka akan ada 12 pasangan Capres yang akan maju dan dipastikan tidak berlansung satu atau dua putaran.
Selain itu, keputusan MK yang menunda pelaksanaan Pemilu dan Pilpres serentak di tahun 2019 juga menjadi pertanyaan. Sebab MK membiarkan UU yang inkonstitusional tetap dijalankan.
"Saya rasa ada pertimbangan-pertimbangan tidak hanya konstitusional, terkesannya keputusannya banci, masa keputusannya ditentukan oleh waktu. Setidak-tidaknya keputusan MK akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan oleh masyarakat," tandasnya.
Dengan tetap diberlakukannya sesuai dengan undang-undang yang lama, dan pemilu 2014, sesuai dengan peraturan undang-undang yang lama, maka yang paling diuntungkan partai-partai besar, seperti PDIP, Golkar, Demokrat, yang selama ini menjadi sumber musibah.
Pileg dan pilpres 2014 ini tidak akan terjadi sirkulasi (perubahan) kepemimnpin Indonesia, dan yang muncul nantinya pemimpin “4 L” alias “ lu lagi, lu lagi, lu lagi, lu lagi". Rakyat perutnya mules melihat pemimpin kelas "badut" yang nggak lucu lagi. *dbs/afg.