View Full Version
Kamis, 20 Feb 2014

Apa Bedanya Ahok, Kandi Susanti, NU dan Tri Rismaharini?

JAKARTA (voa-islam.com) - Begitu muramnya negeri ini. Semua hanya karena pejabatnya. Pejabatnya yang tidak bermoral dan akhlaknya bobrok. Faktor-faktor itu yang mengakibatkan negeri ini semakin hancur, dan berbagai perilaku masyarakat menyimpang.

Mereka menutup mata terhadap segala kekejian yang terjadi. Tidak peduli. Mestinya berbagai  bencana yang terjadi sudah cukup menjadi peringatan, tetapi tidak ada sedikitpun perubahan sikap mereka.

Sangat berbeda dengan Walikota Surabaya Tri Rismaharini, yang ingin membersihkan kota Surabaya dari pelacuran, dan menutup semua lokalisasi pelacuran. Padahal, pelacuran bentuk perzinahan merupakan sumber segala bencana. Justu sebaliknya, masih ada para pejabat yang tetap mengakomodasi dan melanggengkan perbuatan maksiat dan dosa itu. Bahkan, banyak pejabat yang ingin menghidupkan lokalisasi pelacuran, secara permanen.

Seperti Menkes Nafsiyah Mboi dalam acara “Mata Njawa”, akhir tahun lalu, terang-terangan menyatakan pembelaannya terhadap lokalisasi pelacuran. Nafsiah Mboi, bukan saja ingin ‘menggratiskan’ kondom kepada kalangan anak-anak muda agar tidak tertular penyakit AIDS, tetapi “murtadin” Nafsiah Mboi itu, sangat setuju lokalisasi pelacuran.

Sikap mendukung lokalisasi pelacuran itu, juga keluar dari mulut Wakil Gubernur DKI, Ahok, dan dengan sikapnya yang sangat  arogan mengatakan, “Kalangan yang menentang lokalisasi – termasuk Muhammadiyah – sebagai munafik", cetusnya. Ahok berulangkali mengatakan negara Indonesia bukan nengara agama. Mungkin karena Indonesia bukan negara agama (Islam), maka segala bentuk kejahatan, termasuk pelacuran dibolehkan. Ahok juga membolehkan minum bir. Sungguh sangat luar biasa arogansi Ahok.

Gelar pahlawan juga diberikan oleh Bupati Kendal, Widya Kandi Susanti, kepada para pelacur. Kandi Susanti, menyatakan PSK adalah pahlawan keluarga. Maka, menutup lokalisasi, menurutnya tidak tepat dan tidak manusiawi, selain juga akan menimbulkan masalah baru, yakni kemiskinan dan penyebaran penyakit kelamin.

Upaya menghidupkan lokalisasi juga mulai dengan cara memperalat Ormas Islam dan para alim ulama.

Dalam situs resmi milik PBNU (nu.or.id) dapat dilihat dan dibaca hasil “Bahtsul Masail Diniyah Lembaga Kesehatan NU tentang Penanggulangan HIV-AIDS, di mana NU mengeluarkan pandangan dan sikap tentang kebolehan lokalisasi pelacuran (lihat : http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic,dietail-ids,11-id,49730-lang,id-c,syariah-t,Dasar+Hukum+yang+Membolehkan+Lokalisasi-phpx).

PBNU nampaknya hanya mengulangi apa yang sudah menjadi kebijakan pemerintah yaitu menyatakan;

“bahwa lokalisasi hadir sebagai solusi pemerintah untuk mengurangi dampak negatif perzinahan, bukan menghalalkannya. Dengan dilokalisir, efek negatif perzinahan dapat dikelola dan dikontrol, sehingga tidak menyebar ke masyarakat secara luas. Termasuk penyebaran HIV/AIDS. Dengan kontrol yang ketat dan penyadaran yang terencana, secara perlahan keberadaan lokalisasi akan tutup dengan sendirinya karena para penghuninya telah sadar dan menemukan jalan lain yang lebih santun”.

Jika PBNU yang merupakan organisasi ulama sudah membolehkan lokalisasi pelacuran, lalu siapa lalgi yang bisa melarang pelacuran di Republik ini? Padahal, hukum berzina itu, menurut al-Qur'an harus dirajam sampai mati, tidak ada rukhsoh (pengeculian) bagi para pelakunya.

Pernyataan PBNU itu sangat paradok dengan fakta-fakta yang ada. Apalagi, hasil Bahtsul Masail yang dihasilkan PBNU itu, akhirnya hanyalah akan melanggengkan pelacuran di Indonesia. Sudah tidak layak lagi, kehidupan malam yang sangat pekat dipertahankananya. Walikota Surabaya Tri Rismaharini bisa dan mampu menutup pelacuran. Mengapa PBNU tidak bisa?  (afgh/dsb/voa-islam.com)


latestnews

View Full Version