View Full Version
Kamis, 20 Feb 2014

Karena Jilbab, Walikota Risma Dijatuhkan Kelompok Anti Islam

JAKARTA (voa-islam.com) - Isu berbau SARA, ternyata berada di balik kekuatan tertentu yang menginginkan pengunduran diri Walikota Surabaya Tri Rismaharini. Kelompok anti-Islam dituding mendukung pelengseran Risma.

Tudingan itu dilontarkan guru besar ilmu politik Nazaruddin Sjamsuddin, menanggapi kuatnya dorongan agar Risma mengundurkan diri. “Kalo Walkot Risma tak berjilbab dan berprestasi saya yakin dia tak jadi  sasaran utk dijatuhkan. Unsur-unsur anti-Islam gerah melihat keberhasilan Walkot Risma yang selalu berjilbab itu,” tegas Nazaruddin melalui akun Twitter @nazarsjamsuddin seperti diungkap narasumber intelijen.

Nazaruddin menuding sebuah partai politik ingin menjatuhkan Risma. Partai yang dimaksud Nazaruddin adalah partai yang juga menjatuhkan Nazaruddin pada 2005.

“Partai yg mau jatuhkan Risma sama dengan partai yg jatuhkan saya pada 2005 melalui orangnya di KPK. Ini pernah dibongkar KH Hasyim Muzadi. Partai ini ga mau tau bhw maju mundur n mati hidupnya negeri ini tergantung di tangan umat Islam sbg mayoritas. Partai ini mmg ga suka akan tokoh/pejabat Muslim yg berhasil. Partai ini mau agar reputasi Islam sll jelek di negeri ini,” tulis @nazarsjamsuddin.

Terkait dengan upaya itu, Nazaruddin meminta agar gerakan yang menyudutkan umat Islam untuk dihentikan. “Para politisi Islam tnp sadar (or, termakan suap?) jstr menari mengikuti gendang org lain utk ikut jatuhkan Risma. Pintar sekali. Bagi org yg pelajari kepolitikan Indonesia slm lk 50 th, sy serukan agar gerakan/intrik2 yg bertujuan utk sudutkan umat Islam dihentikan,” kicau @nazarsjamsuddin.

Tak Hanya Pejabat, Polwan Berjilbab Pun dijegal Kaum Anti Islam Intoleran

Kapolri Plin Plan, Bertolak Belakang Dengan pernyataan 16 Desember 2013 Silam, Kapolri Jendral Sutarman sempat  berbicara soal pengenaan jilbab dikalanngan polwan. Dia menjelaskan tidak melarang menggunakan jilbab di lingkungan polri.

 

 

"Pemakaian jilbab adalah hak setiap muslim. Dan tentunya kami tidak bisa melarang hak tersebut," ucap Sutarman saat RDP dengan Komisi III DPR RI, senin 16 Desember 2013 silam.

 

Hanya saja menurut sutarman, saat dirinya berkunjubg ke beberapa polda di beberapa daerah. Dirinya menemukan adanya ketidakseragaman dalam oenggunakan jilbab.

 

"Hak berjilbab sudah kami berikan. Hanya saja perlu penyeragaman dalam penggunaannya," ucap mantan Kapolda Jaya tersebut.

 

Lebih lanjut dia menjelaskan permasalahan mengenai penggunaan jilbab ini sudah dibahas sejak Kapolri Jendral Timur Pradopo. Saat itu sudah ada beberapa contoh yang masuk.

 

"Saat zaman pak Timur sudah ada 62 contoh yang masuk. Saat ini kami terus menggodok peraturan mengenai tata cara pengenaan jilbab di polri,"tukasnya.

Sementara Tuti Alawiyah menyatakan keprihatinannya. "Kami prihatin dengan larangan polwan berjilbab. Kami mohon Ketua DPR bisa membantu," kata perwakilan perempuan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Tuti Alawiyah

Tuti Alawiyah menambahkan, "sebenarnya tidak sulit bagi polri meluluskan keinginan para polwan berjilbab. Karena berjilbab merupakan bagian dari hak asasi seseorang dalam beragama. "Tidak ada yang berat, tapi kenapa tidak ada payung hukumnya," ujar Tuti

Menurutnya, payung hukum bagi polwan berjilbab perlu ada. Sehingga para polwan merasa lebih aman dan nyaman menjalankan tugas. "Undang-undang dan payung hukumnya harus jelas. Sehingga mereka saat berjilbab tidak merasa terintimidasi," katanya.

Tuti juga meminta institusi Polri tidak mencari-cari alasan yang bertujuan melarang polwan berjilbab. Soal ketersediaan anggaran dan keseragaman pakaian dinas misalnya, banyak para polwan yang siap membeli jilbab dari uang pribadi. Termasuk mengikuti mode jilbab yang dikeluarkan polri. "Jangan jadikan anggaran dan model jilbab sebagai alasan," ujarnya.

Hal senada juga disampaikan Gerakan Perempuan ICMI, Marwah Daud Nasution. Menurutnya sikap Polri yang melarang polwan berjilbab justru memprihatinkan.

Apalagi Kapolri Jendral Sutarman sempat memberi izin bagi polwan berjilbab. "Larangan ini memprihatinkan karena kapolrinya sudah memberi kesempatan tapi lalu ada keputusan yang berbeda," katanya.

Marwah menyatakan, Polri mesti merelakan keinginan polwan berjilbab. Apalagi, tidak ada keinginan dari kalangan polwan menjadikan jilbab sebagai seragam wajib. "Berjilbab bukan paksaan ini pilihan," ujarnya.

Pada akhirnya keengganan polri merestui polwan berjilbab hanya akan memperburuk citra mereka di masyarakat. Marwah percaya seandainya polwan diperkenan berjilbab maka citra polri akan positif di masyarakat. "Di saat citra mereka negatif dengan korupsi. Jilbab justru bisa menjadi gambaran positif," katanya.

Indonesia berharap Kapolri tidak mudah dikendalikan oleh kelompok intoleran yang bertujuan memecahbelah Umat.

Kepada Umat Islam di seluruh Indonesia, mari kita merapatkan barisan. Tidak boleh sedikitpun ada celah diantara barisan. Kuatkan tali, eratkan pegangan. Polri adalah pengayom dan pelindung serta pelayan Umat. Jika Polri tidak lagi berkenan menjadi pengayom dan pelindung serta pelayan Umat, kepada siapa Umat Islam akan mengadu?

Kepada Ormas Islam khususnya NU dan Muhammadiyah, ini saatnya bersatu membendung gerombolan intoleran yang mencoba membodohi Polri.
[rojul/berbagaisumber/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version