JAKARTA (voa-islam.com) - Satu bulan pasca melahirkan bayi perempuan, pada hari Jumat 31 Januari 2014 pukul 21.15 WIB. Mahasiswi UI, RW korban perkosa penyair dan buayawan liberal Salihara Sitok Srengenge.
Meski masa nifas akan berakhir, RW yang melahirkan dengan cara normal dalam usia kandungan hampir 35 minggu ini Sitok belum juga diperiksa kepolisian.
"Sudah lahir, kondisi ibu baik, persalinannya normal. Bayinya perempuan sehat, lahir Jumat malam ini jam 21.15 WIB," kata kuasa hukum RW, Iwan Pangka Jumat (31/1/2014).
Ketika prosesi melahirkan, RW didampingi orangtua, saudara, pengacara dan sahabat-sahabatnya. Iwan menolak memberitahukan Rumah Sakit tempat RW melahirkan karena alasan korban butuh perlindungan.
Sebelum masa kelahiran, RW terus didampingi psikolog karena kondisi mentalnya yang drop. Mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia itu harus selalu dikuatkan mentalnya dari dukungan keluarga dan teman-teman terdekatnya agar siap menerima kelahiran sang bayi.
Tak Sudi Dinikahi Buayawan Sitok
Seperti pemberitaan di media, lewat kuasa hukumnya, RW mengaku tidak sudi dinikahi pelaku."Ini klien kami korban perkosaan lho. RW tidak sudi dinikahi pelaku karena keberadaannya menghancurkan korban. Namun untuk anak yang ada di kandungannya, sejauh ini RW siap menerima kelahiran anaknya," kata Iwan dalam perbincangan sebelumnya pada 27 Januari 2014.
Seperti diketahui, Sitok dilaporkan ke kepolisian atas tuduhan perbuatan tidak menyenangkan ke Polda Metro Jaya. Sitok dituduh menghamili RW akibat perbuatan tidak menyenangkannya itu. Hingga kini Sitok belum pernah diperiksa atas kasus yang dilaporkan ke Polda Metro Jaya pada 29 Nopember 2013 dengan nomor TBL/4245/XI/2013/PMJ/Dit Reskrimum. Sedangkan RW sudah pernah diperiksa polisi.
Salihara Anak Kandung Tempo
sumber foto : disini "celebrating my dad’s 46th birthday party"
Komunitas Salihara, yang bisa dibilang sebagai anak kandung media Tempo, mengeluarkan siaran pers terkait kasus dugaan pemerkosaan yang dilakukan seorang aktivis komunitasnya, Sitok Srengenge.
Dalam siaran pers itu, Komunitas Salihara seakan ingin menyangkal pemberitaan Tempo, yang menyatakan Sito dituduh melakukan perbuatan tidak menyenangkan.
Siaran pers Komunitas Salihara, dengan mengutip keterangan polisi, mengungkapkan Sitok dituduh melakukan pemaksaan hubungan seks, kehamilan di luar nikah, dan penelantaran terhadap seorang mahasiswi Universitas Indonesia.
Sebelum itu, banyak pihak memang merasa heran dengan cara Tempo memberitakan kasus yang melibatkan Sitok Srengenge. Tempo terkesan ingin melindungi Sitok Srengenge, dengan cara memengaruhi opini publik. Itu sebabnya, ada yang menyatakan Tempo telah melakukan dosa publik. Ada juga yang membeberkan sembilan dosa Tempo sehubungan dengan cara pemberitaannya itu.
Bahkan, seorang ahli komunikasi lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Wisnu Prasetya Utomo, dengan sengaja melakukan perbandingan cara pemberitaan tiga media online dengan media online Tempo mengenai kasus Sitok.
Ketiga media yang beritanya dibandingkan dengan berita Tempo itu adalah kompas.com (Kompas), republika.com (Republika), dan jppn.com (Jawa Pos). Hasil dari perbandingan itu dilaporkan Wisnu di blog-nya, http://wisnuprasetya.wordpress.com.
Wisnu mengungkapkan, dari keempat media tersebut, hanya Tempo yang tidak menyebutkan Sitok menghamili mahasiswi. Bahkan, tak ada kata “menghamili” pada pemberitaan yang Tempo tulis. Tempo memberitakan bahwa Sitok dilaporkan atas "perbuatan tidak menyenangkan terhadap seorang wanita".
Pada penutup berita terkait kasus yang membelit Sitok itu, lanjut Wisnu,Tempo juga berulang-ulang meletakkan tanggapan Sitok terhadap pelaporan tersebut. Setelah itu, Tempo menurunkan dua berita yang berisi pernyataan istri Sitok dan putri Sitok.
"Terlihat penggambaran keluarga yang sedang mengalami ujian dan tegar menghadapinya. Kedua berita ini memberikan penutup yang sama bahwa Sitok siap bertanggung jawab dan hubungannya dengan RW dilakukan atas dasar suka sama suka," ungkap Wisnu.
Ketiga media yang lain memosisikan RW sebagai korban, namun tidak demikian halnyaTempo. "Dari awal, Tempo sudah mem-framing bahwa kasus ini terjadi karena suka sama suka. Konsekuensinya, tidak ada yang menjadi korban.
Apalagi, ditambah dengan penonjolan respons dari istri dan anak Sitok serta tanggapan Sitok yang mengatakan akan bertanggung jawab. Sebagai catatan, Tempo yang pertama kali mendapatkan klarifikasi atau tanggapan dari sang penyair dari Komunitas Salihara ini," papar Wisnu.
Nada pemberitaan Tempo, lanjut Wisnu, sebenarnya mulai berubah seiring dengan ditulisnya berita dengan judul "RW, Korban Sitok, Depresi Lima Bulan" dan "BEM FIB UI Tuding Sitok Teror Mahasiswi UI". "Ah, tapi jangan percaya sebuah berita sampai Anda membacanya tuntas," kata Wisnu.
Kenapa? Karena, lanjut Wisnu, dua berita tersebut diakhiri dengan kalimat "Dalam klarifikasinya, Sitok sendiri mengaku mengenal RW dan pernah berhubungan intim atas dasar suka sama suka.
'Tapi tidak benar saya berniat membiarkan, apalagi lari dari tanggung jawab,' kata dia." dan "Badan Eksekutif Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia sampai mengeluarkan siaran pers soal ini. Mereka meminta kasus ini diungkap tuntas. Kepada Tempo, Sitok membantah telah melakukan pelecehan seksual seperti yang dituduhkan."
"Tanpa susah-susah menganalisis, kita bisa menyimpulkan bahwa hal tersebut menunjukkan sesuatu yang hendak ditekankan sebuah berita. Nah, tepat di titik itulah framing bekerja," tutur Wisnu.
Framing semacam ini menurut Wisnu terasa aneh jika melihat bagaimana pemberitaan Tempo terkait dugaan pemerkosaan terhadap perempuan jurnalis di Jakarta, beberapa bulan lalu. "Saat itu, Tempo getol mengangkat kasus ini dan memberikan ruang yang lebar untuk korban.
Pertanyaannya, mengapa dalam kasus SS iniTempo tidak melakukan hal serupa dan justru memberikan banyak ruang untuk sang pelaku?" kata Wisnu. Dengan berita-berita seperti itu, tambah Wisnu, jangan salahkan publik jika menganggap Tempo "membela" SS dalam kasus ini.
Sementara itu, Ayu Utami, penulis yang juga kurator Komunitas Salihara, menulis dalam blog-nya bahwa pada kasus SS, kita belum tahu apakah pemaksaan dalam makna tradisional memang terjadi.
"Tapi, dugaan bahwa ada hubungan seks yang tidak adil, tidak ditunaikan dengan cara-cara apik dan manusiawi―dan karenanya menjadi tidak menyenangkan, bahkan terasa cabul―sah sebagai kasus hukum.
Kita tidak bisa lagi berlindung di balik 'suka sama suka'. Itu pandangan yang terlalu sempit," ungkap Ayu, dalam tulisan berjudul "Mengapa Kita Tak Pantas Lagi Bilang 'Suka sama Suka'".
Media online thejakartapost.com edisi Selasa (3/12) sempat memberitakan bahwa ada seorang mahasiswi lain yang membuka suara atas upaya pemerkosaan yang ingin dilakukan oleh Sitok. Namanya Maria.
Upaya pemerkosaan Maria oleh Sitok, seperti dikisahkan Maria kepada thejakartapost.com, gagal karena Maria melawan dan melarikan diri. Sebelum peristiwa itu terjadi, Sitok terlebih dulu mengajak Maria meminum minuman keras. (Umar/ASN-010/L6/voa-islam.com)