JAKARTA (voa-islam.com) - Gara-gara Mega 'kesengsem' Jokowi, kemudian mentalak tiga Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto, dan membatalkan pencalonan mantan Danjen Kopassus itu menjadi calon presiden dari PDIP dalam pilpres 2014.
Perjanjian yang sudah disepakati bersama itu dikhianati oleh Mega, saat-saat terakhir, dan Mega mengumumkan Jokowi sebagai calon presiden dari PDIP.
Selanjutnya, Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Letnan Jendral Prabowo Subianto mempertanyakan sikap PDIP mengusung Jokowi sebagai bakal calon presiden dalam pilpres 2014, karena dinilai melanggar perjanjian 'Batu Tulis' yang sudah merupakan hasil kesepakatan antara Megawati dengan Prabowo Subianto.
Dalam perjanjian 'Batu Tulis' yang ditandatangani pada 16 Mei 2009, di atas materai Rp 6.000 oleh Megawati dengan Prabowo Subianto itu ada 7 poin kesepakatan yang dihasilkan kedua belah fihak.
Dalam point ke 7 itu tertulis, Megawati selaku Ketua Umum PDIP akan mendukung Prabowo Subianto selaku Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra untuk menjadi calon presiden pada pemilihan presiden 2014.
Perjanjian itu, dikatakan oleh Prabowo, dibuat karena kesamaan visi yang ada antara Gerindra dan PDIP menyangkut kecocokan dalam pandangan kebangssaan dan nasionalisme. Sehingga muncul keinginan berjuang bersama. “Saya ingin semua kekuatan, nasionalis, religius, dan Indonesia bersatu.Itu yang saya inginkan. Saya menghormati Bu Mega. Saya tidak mengerti ada dinamika apa”, kata Prabowo.
Kegagalan itu, bisa terjadi karena banyak faktor mengapa Mega mengkhianati perjanjian dengan Prabowo yang sudah menjadi kesapakatan itu. Diantaranya, karena adanya tekanan dari kalangan “Chinese Oversease” (Cina Perantauan), yang berpusat di Singapura, dan masih belum dapat ‘well come’ terhadap Prabowo Subianto, karena kalangan ‘Chinese Oversease’, masih tetap mencurigai bahwa Prabowo terlibat dalam kerusuhan Mei ’98, yang meluluh-lantakkan Cina di Jakarta dan tempat-tempat lainnya.
Prabowo dibandingkan dengan Jokowi lebih sulit dikendalikan oleh kalangan ‘Chinese Oversease’. Karena, Prabowo memiliki sikap nasionalisme yang kuat, dan berpendidikan baik, dan memiliki dukungan militer, dibandingkan dengan Jokowi, yang mudah dikendalikan dan dijadikan ‘boneka’ oleh kalangan konglomerat Cina, yang sekarang berjuang ingin mengangkangi Indonesia.
Dalam pengumpulan dana kampanye yang diselenggarakan oleh PDIP itu, tercakup 10 orang kaya di Indonesia, sebagian besar konglomerat Cina. Tak heran usai Mega mengumumkan pencapresan Jokowi, langsung disambut positif bursa saham di Jakarta.
Nampaknya, Jokowi mendapatkan dukungan bukan di kalangan ‘Chinese Overseas’ yang berpusat di Singapura dan konglomerat Cina, tetapi juga Barat, itu terbukti kunjungan Menteri Luar Negeri Inggris, William Hague kepada Jokowi.
Hague mewakili Inggris, Amerika Serikat, Australia, dan Selandia Baru. Mereka tidak merasa ‘inhome’ (nyaman) dengan Prabowo, karena diragukan komitmennya kepada kepentingan Cina, ‘Chinese oversease’, dan Barat di Indonesia. Apalagi, Barat - Amerika Serikat akan memindahkan armada dan kekuatan militernya ke Asia Tenggara, dan dipusatkan di Australia.
Sebaliknya, Mega sudah memberikan komitmennya kepada Cina, ‘Chinese Oversease’, konglomerat Cina, dan Barat. Ketika Mega menjadi Presiden, sudah memberikan dukungan kepada kepentingan asing, seperti penjualana Indosat kepada Singapura, ‘gas tangguh’ kepada Cina, dan bahkan yang paling menyakitkan memberikan pengampunan kepada pengemplang (obligor) konglomerat Cina, yang sudah menggaruk dana BLBI Rp 650 triliun.
Dengan Jokowi menjadi calon presiden itu, Mega telah memenuhi tuntutan kepentingan Cina, ‘Chinese Oversease’, konglomerat Cina, dan Barat, menguasai dan menjajah Republik ini. Jokowi yang selalu digambarkan sebagai tokoh yang ‘bersih’ dan merakyat itu, semuanya hanyalah rekaan belaka.
Sejatinya Jokowi, hanyalah ‘boneka’ yang sudah didagangkan oleh Mega kepada kepentingan asing atas Indonesia. (hmd/dbs/voa-islam.com)