JAKARTA (voa-islam.com) - SBY menjelang akhir kekuasaannya rupanya ingin dikenang berjasa dan berbuat baiak, seperti Presiden Abdurrahman Wahid oleh kalangan Cina, kemudian mengeluarkan Keppres Nomor 12 Tahun 2014 itu, maka dalam semua kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, penggunaan istilah orang dari atau komunitas Tjina/China/China diubah menjadi orang dan/atau komunitas Tionghoa.
Melalui Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014 Presiden SBY mengeluarkan pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera tentang istilah “Tjina” (China) menjadi Tionghoa.
Dalam Keppres yang ditandatangani pada Jumat 14 Maret 2014 itu, Presiden SBY menilai, pandangan dan perlakuan diskriminatif terhadap seorang, kelompok, komunitas dan/atau tertentu, pada dasarnya melanggar nilai, prinsip perlindungan hak asasi manusia.
Dengan pertimbangan istilah “Tjina” sebagaimana disebutkan dalam Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967, yang pada pokoknya merupakan pengganti istilah “Tionghoa/Tiongkok” telah menimbulkan dampak psikososial-diskriminatif dalam hubungan sosial warga bangsa Indonesia dari keturunan Tionghoa.
“Karena itu, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis,” bunyi Menimbang poin b Keppres tersebut dikutip laman Setkab, Selasa, (18/03/2014).
Presiden juga menjelaskan, sehubungan dengan pulihnya hubungan baik dan semakin eratnya hubungan bilateral dengan Tiongkok, maka dipandang perlu sebutan yang tepat bagi negara People’s Republic of China dengan sebutan negara Republik Rakyat Tiongkok.
Dalam diktum menimbang Keppres itu disebutkan, bahwa ketika UUD 1945 ditetapkan, para perumus UUD tidak menggunakan sebutan China melainkan menggunakan frasa peranakan Tionghoa bagi orang-orang bangsa lain yang dapat menjadi warga negara apabila kedudukan dan tempat tinggalnya di Indonesia, mengakui Indonesia sebagai tanah airnya, dan bersikap setia kepada negara Republik Indonesia.
Karena itu, melalui Keppres No. 12/2014 tertanggal 14 Maret 2014 itu itu, Presiden SBY mencabut dan menyatakan tidak berlaku Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967.
Selanjutnya, dengan berlakunya Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014 itu, maka dalam semua kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, penggunaan istilah orang dari atau komunitas Tjina/China/China diubah menjadi orang dan/atau komunitas Tionghoa, dan untuk penyebutan negara Republik Rakyat China diubah menjadi Republik Rakyat Tiongkok.
“Keputusan Presiden ini berlaku mulai tanggal ditetapkan,” bunyi Keputusan Presiden yang ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 14 Maret 2014 itu.*
Sebelumnya, Presiden Abdurrahman Wahid, yang diberi gelar oleh Presdien SBY sebagai ‘bapak’ pluralisme telah mengeluarkan kepres yang mengakui agama Konghucu sejajar dengan lima agama yang sudah diakui berdasarkan undang-undang di Indonesia.
Karena itu, orang-orang Cina setiap hari raya Imlek, merayakannya dengan berbagai acara yang sangat meriah. Selain itu, Presiden Soeharto, di masa lalu, mengeluarkan kebijakan mengganti nama-nama orang Cina dengan nama Indonesia. Seperti Liem Sieo Liong menjadi Sudono Salim. Sehingga, orang Indonesia bingung mana orang cina mana orang pribumi.
Langkah-langkah yang sismatis perjuangan orang-orang Cina di Indonesia berlanjut, ini berarti kemenangna orang-orang Cina, dan selangkah lagi, mereka akan menjadi penguasa di negeri ini. (afgh/dbs/voa-islam.com)