BLORA, JAWA TENGAH (voa-islam.com) – Bertentangan dengan syariat Islam, umat muslim tidak boleh mengikuti pesta demokrasi dalam ajang pemilihan umum (pemilu). Demikian disampaikan Ustadz Abu Sifa’ Mustaqim. MA dalam Training The Islamic Leadership di Gedung Pertemua Markaz Yayasan Islam Al Ausath Blora, Blora, Jawa Tengah, Selasa (25/03/2014) kemarin.
“Adapun sebuah sistem Pemilu yang di dasarkan dengan Aqidah Demokrasi maka Haram mengikuti Pemilu yang bertentangan dengan syariat Islam,” tutur ustadz yang juga berprofesi sebagai motifator ini.
Menurutnya, sitem demokrasi yang mengagungkan suara rakyat itu bagian dari bentuk kemaksiatan kepada Allah. “Haram mengikuti sesuatu yang bermaksiat pada Allah,” tuturnya.
Pada kesematan tersebut, Ustadz alumni al-Azhar ini menjelaskan tentang pentingnya kepemimpinan dalam Islam. “Hukum memilih pemimpin dalam Islam itu wajib, dan Umat Islam wajib hukumnya taat dan patuh dengan Pemimpin yang telah di angkat dan di baiatnya, karena masalah kepemimpinan itu adalah masalah yang sangat penting dalam Islam,” tuturnya.
Sehingga, menurutnya, memilih pemimpin itu wajib hukumnya, selama cara yang digunakan tidak bertentangan dengan syariat Islam. “karena mengikutinya itu adalah bagian dari sumbangsih kita akan kepedulian terhadap umat selama tidak bertentangan dengan Syariat Islam!.”
Tidak diragukan lagi bahwa ada perbedaan pendapat di kalangan umat Islam tentang keikutsertaan memberikan hak suara dalam ajang pemilu. Ada sebagian yang menyatakan wajib seperti fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).
"Golput termasuk perbuatan dosa karena sudah ada fatwa MUI yang mewajibkan menggunakan hak pilihnya pada pemilu. Siapa yang tak mengerjakan perkara wajib berarti berdosa," kata Ketua MUI KH Amidhan, Kamis (27/2/2014).
Ada juga sebagian komponen umat Islam Indonesia berpendapat, ikut serta menggunaan hak suara hukumnya mubah saja.
“Pada prinsipnya, Pemilu yang merupakan hak setiap warga negara yang memiliki hak pilih, adalah hal yang Mubah. Artinya, menggunakan hak pilih di dalam Pemilu Tidak Wajib, dan menghindarinya (tidak menggunakan hak pilih) Tidaklah Haram,” demikian isi surat keputusan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) terkait pemilu dan parlemen yang diterima redaksi, Ahad (23/03/2014) lalu.
Pandangan Majelis Mujahidin ini didasarkan realita bahwa sampai sekarang, “belum munculnya Parpol Islam yang secara terus terang dan tegas menjadikan Islam sebagai asas partainya, dengan tujuan utama dan satu-satunya adalah menegakkan syari'at Islam di lembaga negara dan pemerintahan,” tulisnya pada rilis yang ditandangani Drs. Muhammad Thalib selaku ketua dan Drs. Nashruddin Salim, S.H, M.H selaku Sekretaris Umum.
Keputusan yang tidak mewajibkan umat Islam Indonesia menggunakan suaranya tersebut juga didasarkan kepada kenyataan, partisipasi sebagian besar parpol di dalam Pemilu bermaksud untuk mengukuhkan sistem syirik, yaitu sistem demokrasi sekuler yang memisahkan negara dan agama, atau yang tidak peduli terhadap hukum hukum agama dan moral. [PurWD/voa-islam.com]