JAKARTA (voa-islam.com) - Ketua Dewan Pers Bagir Manan meminta sejumlah pemilik media untuk menghormati etika jurnalistik karena menurutnya para pemilik yang terjun ke dunia politik menggunakan medianya sebagai sarana mengkampanyekan diri sehingga pers menjadi tidak sehat.
"Dengan menghormati etika jurnalistik berarti mereka ikut menjaga pers yang sehat," kata Bagir seusai acara Menakar Independensi dan Netralitas Jurnalisme dan Media Indonesia di gedung Dewan Pers, Jakarta, Rabu, 26 Maret 2014.
Ini media yang dimiliki bos atau petinggi partai yang disinyalir menunjukkan gelagat tak independen dan tak netral terkait dengan berita politik menjelang pemilihan umum 9 April nanti. Hasil penelitian Masyarakat Peduli Media menunjukkan adanya keberpihakan media terhadap pemiliknya.
Contoh media televisi yang berpihak ke pemiliknya, yakni TV One milik Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie dan Metro TV milik Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh. Lebih banyak menyiarkan Partai Golkar dan Aburizal Bakrie dibanding partai dan calon presiden lainnya.
"Demikian pula Metro TV yang lebih banyak menampilkan Surya Paloh dan narasumber dari Partai NasDem," peneliti dari Masyarakat Peduli Media, Muzayin Nazaruddin.
Keberpihakan tak hanya terjadi di televisi, tapi juga media cetak. Muzayin memaparkan Rakyat Merdeka memberi porsi pemberitaan dominan bagi Dahlan Iskan, pemilik Jawa Pos Group (JPNN).
"Dalam pemberitaan di Rakyat Merdeka, figur Dahlan Iskan selalu digambarkan secara positif," ucap Muzayin Nazaruddin.
Media Indonesia pun begitu. Media Indonesia satu group dengan MetroTV, kata Muzayin, cenderung memberitakan Partai NasDem secara positif. "Jadi, Media Indonesia dan Rakyat Merdeka cenderung berpihak kepada pemiliknya," tutur Muzayin.
Senada dengan Muzayin, Peneliti dari Pemantau Regulasi dan Regulator Media, Amir Efendi Siregar, menyatakan hasil penelitian PR2M, media massa, baik cetak maupun elektronik yang dimiliki politikus, sering digunakan untuk kepentingan pribadi.
Amir mencontohkan MNC TV, RCTI, Okezone.com, dan koran Seputar Indonesia (Sindo), yang dimiliki Wakil Ketua Umum Partai Hanura, Hary Tanoe.
"Observasi yang dilakukan peneliti menemukan bahwa liputan-liputan di media dalam kelompok MNC tidak hanya bias pemilik, tapi juga ada tendensi untuk menyembunyikan kebenaran," kata Amir.
Karena itu, Muzayin dan Amir merekomendasikan kepada Dewan Pers untuk membuat regulasi demi menjamin independensi media. Dewan Pers selayaknya juga memberi teguran kepada media yang melanggar prinsip-prinsip independensi dan netralitas.
Ini Konglomerat 12 Media Indonesia :
1. Hary Tanoe - MNC, RCTI, Seputar Indonesia
2. Dahlan Iskan - Jawa Pos Group
3. Jacob Oetama - Kompas Gramedia
4. Eric Thohir - Mahaka Media, Republika
5. Sariatmadja Family - SCTV, Elang Mahkota Teknologi
6. Chairul Tanjung - Detik.com, CT Corp, Trans TV
7. Aburizal Bakrie & Brothers - ANTV, TVONE
8. Surya Paloh - Media Indonesia, MetroTV
9. Adiguna Sutowo - MRA Media
10. Pia Alisjahbana - Femina Group
11. Goenawan Muhamad Yayasan Tempo - Majalah Tempo, Tempo.co
12. James Riady Lippo Group - Berita satu Media Holding
Menurut Penelitian HerbertKrugman menyatakan bahaya #kartelmedia di televisi, orang tua harus mewaspadai apa yang disebut program #MindControl -Pengendalian Pikiran.
Dari penelitian HerbertKrugman dapat dilihat bagaimana dampak menonton televisi meskipun hanya 30 detik namun efeknya akan mengubah dominasi gelombang Beta (analitis / kesadaran) menjadi gelombang Alfa (tidak kritis / mudah di arahkan)
Bahkan penelitian HerbertKrugman menyatakan bahaya #kartelmedia di televisi, orang tua harus mewaspadai apa yang disebut program #MindControl -Pengendalian Pikiran.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/article/2013/10/27/27332/waspada-mind-control-kartel-media-yahudi-penguasa-racuni-iman/#sthash.mYMCNE64.dpufDari penelitian HerbertKrugman dapat dilihat bagaimana dampak menonton televisi meskipun hanya 30 detik namun efeknya akan mengubah dominasi gelombang Beta (analitis / kesadaran) menjadi gelombang Alfa (tidak kritis / mudah di arahkan)
Media Sebagai Juru Kampanye
Pakar komunikasi politik, Dr. Heri Budianto dalam acara launching Political Communication Institute di Hotel Puri Denpasar, Kuningan Jakarta dengan gamblang menyatakan bahwa popularitas Jokowi adalah efek dari pop kultur. Sementara menurut pakar komunikasi massa, Prof. Denis Mcquail dalam bukunya “Teori Komunikasi Massa” menyatakan bahwa eksistensi pop kultur atau budaya massa sangat bergantung kepada media.
Maka, Jokowi sebagai capres dari pop kultur Indonesia tidak diragukan lagi mendapat sokongan besar dari media. Bertindak sebagai juru kampanye, media kita menyiarkan kinerja Jokowi sebagai Gubernur Jakarta ke seluruh penjuru mata angin. Efek citra yang jelas terangkat adalah bahwa kerja regional Jokowi di Jakarta, seolah menjadi kerja nasional bagi bangsa ini seluruhnya.
Banyak pertanyaan mencuat dari kedekatan media dengan sosok Jokowi. Beberapa pihak menduga bahwa ada peran pihak tertentu yang ingin mengendalikan Jokowi dari balik layar. Padahal permasalahannya bisa dilihat secara lebih sederhana.
Dalam acara pertemuan antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan lembaga-lembaga penyiaran terkait tayangan di bulan suci Ramadhan dua minggu lalu. Muncul pengakuan menarik dari insan pertelevisian bahwa mereka memiliki ketergantungan yang besar terhadap rating. Bahkan perwakilan salah satu stasiun televisi dengan gambalng menyatakan bahwa dalam industri pertelevisian, rating adalah tuhan dan lembaga penentu rating adalah nabinya.
Media yang kita kenal bukanlah lembaga sosial yang memiliki komitment mengabdi untuk masyarakat. Media kita adalah industri, dan selayaknya industri, mereka hidup dari keuntungan. Keuntungan media diraih dari banyaknya iklan dalam suatu program. Dan penentu banyak tidaknya iklan untuk satu program, lembaga rating yang menentukan. Sosok Jokowi diolah dalam sistem ini.
Tafsir sederhana dari ramainya media kita yang mengangkat sosok Jokowi tiada lain disebabkan oleh tingginya rating. Tingginya rating sama dengan banyaknya perolehan iklan yang berakibat pada naiknya keuntungan. Disini, posisi Jokowi tidak beda dengan acara Yuk Kita Senyum (YKS), dua-duanya adalah objek eksploitasi. Artinya tanpa settingan pihak-pihak tertentu pun, sistem industri media kita sudah bermasalah dalam meninggikan sosok dan citra Jokowi.
Jokowi sebagai pribadi mungkin tidak perlu mengeluarkan dana sepeser pun agar citranya naik, tapi eksploitasi media terhadap sosoknya bisa jadi jauh lebih mahal dan berbahaya dari apa yang bisa dibayangkan. Sebab jika sisi positif Jokowi habis dieksploitasi, giliran sisi negatifnya yang akan diumbar habis. Bukan atas nama keadilan atau keberimbangan dalam berita, tapi atas dasar rating dan keuntungan semata.
Terakhir saya tutup dengan kalimat indah dari seorang pakar,pendobrak dan penguak teori konspirasi dunia.
"Sejatinya politikus itu bukanlah perwakilan rakyat,tapi mereka adalah sekumpulan geng yang mementingkan golongannya..BUKAN BANGSANYA"..!!!"
-Jesse Ventura-
Selamat berpesta 'kibuli' rakyat...
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2014/03/27/29663/fakta-caleg-2014-90-muka-lama-10-gile-dari-artis-porno-preman/#sthash.IBEcDy9b.dpufTerakhir saya tutup dengan kalimat indah dari seorang pakar,pendobrak dan penguak teori konspirasi dunia.
Sejatinya politikus itu bukanlah perwakilan rakyat,tapi mereka adalah sekumpulan geng yang mementingkan golongannya..BUKAN BANGSANYA"..!!! -Jesse Ventura-
Selamat berpesta 'kibuli' rakyat...
Kalo sudah begini suara rakyat hanya sayup terdengar, selebihnya kepentingan pemilik modal semata dan agenda asing. [tmp/islampos/brbs/voa-islam.com]