JAKARTA (voa-islam.com) - Tak urung kegagalan perolehan suara PDIP yang mentok di angkat 19,7 persen, membuat para pembesar PDIP, menjadi murka terhadap Jokowi. Jokowi berubah menjadi 'Jokobodo', tak berharga, dan berguna. Masih berguna Oma Irama.
Oma Irama berhasil mendongkrak pertainya Cak Imin (Muhaimin Iskandar) PKB, dari partai kelas 'gurem', mendadak sontak menjadi partai yang 'berharga' tinggi. Sekarang suara PKB hampir menyentuh angka 10 persen.
RH.Oma Irama, berwajah bersih, sangat ganteng, berbicara fasih, berilmu, mengerti Islam, sangat populis (merakyat), dan tidak perlu di poles-poles media, atau pencitraan media, Oma sudah sangat populer.
Namun, bukan hanya populer dan populis, dibandingkan dengan Jokowi, sejatinya Oma lebih berotak. Jadi kalau ada partai yang berani mencalonkan Oma secara serius sebagai capres di 2014, maka tokoh Oma masih akan lebih banyak mendapatkan dukungan dibandingkan dengan Jokowi.
Oma sudah bergelut di dunia musik dan da'wah sudah berpuluh tahun. Oma Irama bukan tokoh baru di blantika politik. Dibandingkan Jokowi tak ada apa-apanya. Jokowi hanya ramai di media, bikinan media kristen dan sekuler.
Oma Irama tidak berkhianat terhadap rakyat dan Muslim. Justru karya-karya musiknya dan lirik lagunya, banyak memberikan motivasi dan memberikan pendidikan bagi rakyat, dan sangat populis.
Sedangkan Jokowi berkhianat dan tidak amanah terhadap rakyat. Di berikan amanah di Solo, ditinggalkan. Diberi amanah oleh rakyat DKI Jakarta, ditinggalkan. Karakter Jokowi suka mengkhianati rakyat. Bagaimana kalau menjadi presiden Indonesia?
Kekurangan Oma Irama hanya satu, yaitu 'konon' banyak isterinya. Tetapi, masih lebih mulia, dibandingkan para pejabat atau tokoh partai, yang banyak menyimpan 'gundik', selingkuh, berzina, dan makan uang haram. Oma Irama menikahi sejumlah perempuan menggunakan uang pribadinya, dari tetesan keringatnya, bukan dari uang APBN, atau korupsi. Jadi Oma masih mulia.
Memang, media kristen dan sekuler, pasti mencibir dan menghina Oma Irama, dan memuji Jokowi. Jokowi yang menjadi tokoh 'jadi-jadian' itu, diarak dan dikerek tinggi oleh media-media kristen dan sekuler yang mereka ini menjadi corong kepentingan konglomerat Cina, missionaris, dan Barat, yang bertujuan menjadikan Jokowi sebagai 'boneka' untuk menguasai dan menjajah Indonesia.
Sekarang, sesudah terbukti Jokowi seperti benda yang tak 'bertuah', dan terbukti, Jokowi yang dielu-elukan hanyalah 'the impossible man', dan suara PDIP tak bisa melebihi 20 persen. Padahal, Jokowi sesumbar akan mendongkrak suara PDIP sampai 35 persen. Semua itu hanyalah 'pepesan kosong' belaka. Semua terbukti dan gamblang sesudah 9 April.
Keputusan Mega yang memutuskan Jokowi sebagai capres PDIP, yang diputuskan pada 14 Maret lalu, sebuah keputusan yang penuh dengan tekanan dan misteri (baca : Misteri dibalik pencapresan Jokowi). Di mana berbagai kepentingan melakukan pressure politik terhadap Mega. Mereka, konglomerat Cina, seperti James Riayadi dan 'Arkansas Connection' berperan besar, menekan Mega.
Sekarang, di internal PDIP terjadi hiruk pikuk, dan perdebatan yang tiada henti atas kegagalan Jokowi. Ternyata Jokowi bukan manusia ajaib, yang bisa mengatakan 'kun fayakun'.
Sebuah media yang dibawah Kompas, yaitu The Jakarta Post, memberitakan keributan antara Puan Maharani dengan Jokwoi. Di mana terjadi pengusiran Joko Widodo (Jokowi) dari rumah kediaman Ketua Umum Megawati Soekarnoputri Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat pada Rabu, 9 April 2014, oleh Puan Maharani. Berita pengusiran itu dilansir oleh The Jakarta Post, dan berita pengusiran Jokowi oleh Puan menjadi pembicaraan hangat di mana - mana.
Menurut saksi yang mengetahui kejadian memalukan itu, pengusiran Jokowi dilakukan Puan Maharani yang kesal dan marah melihat sikap Jokowi yang masih saja, dan tidak menunjukkan sikap tidak mau tanggung jawab atas hasil perolehan suara PDIP yang jauh di bawah ekspetasi internal PDIP, yakni hanya 19 persen. Hasil itu hanya sekitar 60% dari target suara yang disesumbarkan Jokowi sebelum pemilu.
Kemarahan Puan yang berakhir dengan pengusiran Jokowi dari kediaman Megawati, terjadi karena tanpa diduga Jokowi dan tim suksesnya secara gamblang dan nekad malah menyalahkan Puan Maharani atas anjloknya suara PDIP.
Sedang Puan dan Bappilu PDIP secara tegas menyebut Jokowi adalah penyebab kemerosotan suara PDIP. Berdasarkan survei LSI, prediksi hasil pemilu jika Jokowi tidak jadi capres adalah 24,5 persen.
Begitu Jokowi memaksakan kehendak untuk didukung secara terbuka sebagai capres PDIP, hasilnya malah menggerogoti suara PDIP menjadi hanya 19 persen saja, yang artinya Jokowi Effect sama sekali tidak benar, bahkan menimbulkan kemerosotan suara PDIP.
Sebagai Ketua Badan Pemenangan Pemilu PDIP, Puan Maharani tidak dapat lagi menahan kekesalannya atas kecaman Jokowi dan tim suksesnya yang menjadikan Puan dan Bappilu sebagai kambing hitam, sehingga tanpa basa - basi, Puan langsung mengusir Jokowi keluar rumah di hadapan puluhan kader utama PDIP yang hadir Rabu malam itu.
Tindakan memalukan yang diterima Jokowi seketika membuatnya terdiam dan langsung keluar meninggalkan kediaman Megawat.
Setelah peristiwa yang menampar harga diri Jokowi itu, tim sukses Jokowi mulai membalas melalui lembaga atau lembaga pendukungnya, dengan ramai - ramai menyampaikan pendapat mereka di berbagai media.
Di mana pada intinya menyalahkan Puan Maharani, para caleg PDIP dan Bappilu. Bahkan ada yang berani menyalahkan keterlambatan keputusan Megawati menyatakan dukungan pencapresan Jokowi.
Dalam pemberitaan itu disebut bahwa Jokowi sebelum pertemuan menyalahkan strategi politik PDIP sehingga perolehan suara di pileg tak menembus target 27 persen. Pernyataan Jokowi itu disebut membuat Puan meradang karena merasa disalahkan. Hingga akhirnya dalam pertemuan yang juga dihadiri sejumlah petinggi PDIP itu Puan menumpahkan kemarahannya dan mengusir Jokowi.
Bagaimana kalau PDIP banting stir mengganti Jokowi sebagai capres? Karena sudah dilakukan semacam 'try out' (uji coba), saat berlangsung pilkada. Di mana Jokowi melakukan safari kampanye mendukung calon gubernur Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, dan Sumatera Utara, semua gagal.
Kecuali di Jawa Tengah, di mana Ganjar Pranowo, memang populis, muda, dan digemari rakyat. Jadi, Jokowi itu masih berharga Oma Irama. Hanya Oma yang Muslim itu, tidak mendapatkan dukungan "Asing dan A Seng'. (afgh/dbs/voa-islam.com)