JAKARTA (voa-islam.com) - Tinggal menghitung hari lagi kita akan memiliki Presiden baru. Namun hingga sekarang belum pernah ada calon Presiden yang berbicara mengenai kebijakan dan strategi energinya setelah dirinya terpilih nanti. Apakah akan mengurangi subsidi dengan menaikkan harga minyak, atau melakukan konversi minyak ke gas untuk menekan semakin melambungnya subsidi BBM pada APBN yang tahun ini sudah mencapai Rp 211 triliun dan sebagainya.
Berikut ini wawancara Abdul Halim dari VOA-Islam dengan pakar ekonomi kebijakan publik, Dr Ichsanuddin Noorsy, seputar energi dan kebijakan energi di Indonesia sejak era Orde Baru, Reformasi hingga Presiden baru nanti.
Bagaimana seharusnya negara kita mengatur perekonomian termasuk sektor energi ?
Harus berdasarkan pasal 23 dan 33 UUD 1945.
Apakah subsidi energi yang mencapai Rp 300 triliun itu cukup membebani APBN ?
Sebenarnya subsidi itu tidak membebani APBN, sebab kesalahannya terletak pada struktur pendapatan dan belanja negara. Subsidi juga menyangkut perencanaan perekonomian nasional. Sebab selama ini pemerintah telah didekte oleh industri otomotif, minyak dan keuangan. Selama kita masih bisa didekte oleh ketiga industri itu, maka akan selalu timbul pertanyaan kalau subsidi BBM itu membebani APBN.
Kalau subsidi BBM dikurangi kemudian dialihkan ke bantuan langsung tunai, bagaimana komentar Anda ?
Kecenderungan pemerintah bersama Tim Ekonomi Mafia Barkeley memang mencabut subsidi dengan cara menggeser subsidi barang ke orang. Jelas itu bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945, dimana tidak diperbolehkan pemisahan antara barang dan orang dalam subsidi. Jadi jangan bermain subsidi pada orang dan barang, sebab itu merupakan perilaku sistim ekonomi global dan kapitalis.
Apa solusi lain pengurangan subsidi selain menaikkan harga BBM ?
Banyak sekali solusi untuk mengurandi subsidi diluar kenaikan harga minyak. Sejak awal saya sudah mengusulkan agar pemerintah terbuka dulu mengenai soal biaya pokok produksi minyak dalam negeri dan biaya pokok minyak impor. Sebab kalau kita bicara tentang harga, maka buka dulu struktur biayanya, maka nanti akan terbuka struktur biaya dari hulu sampai hilir. Kalau sering kita buka struktur biayanya dan panduan harga campuran, maka kita akan mengetahui ada tidaknya korupsi, apakah mafia migas masih hidup atau sudah mati dan sebagainya. Kalau sudah dibongkar semuanya, maka kita akan bisa mengatakan memang tidak ada pencurian dan perampokan minyak.
Harga minyak internasional mencapai Rp 10.000 per liter, sedangkan premium Rp 6.500 per liter. Apa tidak terlalu besar subsidinya ?
Kita tidak layak menyamakan harga minyak nasional dan internasional ditengah-tengah pendapatan rakyat tidak beranjak naik. Selama Orba berkuasa, pendapatan kita tidak pernah naik kelas. Apa artinya GNP perkapita sekarang USD 3000 kalau kita masih tergolong kelas menengah ke bawah menurut World Bank. Jadi bukan persoalan angka USD 3000 atau USD 4000, karena kita tetap menjadi negara dengan GNP perkapita kelas menegah ke bawah.
Bagaimana konversi minyak ke gas, apakah berhasil atau gagal ?
Mantan Wamenkeu Rudy Rubiandini pernah mengatakan pemerintah gagal dalam melakukan konversi minyak ke gas, pemerintah hanya omong doang. Apalagi sekarang sumur minyak kita yang bagus-bagus justru diberikan ke asing. Juga perpanjangan kontrak karya pertambangan diberikan ke pihak asing. Selain itu seharusnya Pertamina lebih mengutamakan membangun kilang minyak yang baru.
Pertamina telah mengumumkan deviden tahun 2013 mencapai Rp 29 triliun. Apakah deviden itu cukup besar ?
Deviden Rp 29 triliun itu terlalu kecil jika dibandingkan dengan volume bisnis Pertamina yang mencapai Rp 500 triliun. Seharusnya keuntungan Pertamina minimal 12 persen atau Rp 60 triliun. Transaksi Migas di Indonesia saja mencapai Rp 472 triliun pertahun. Kalau Rp 29 triliun itu masuk ke pemerintah, mengapa tidak dimanfaatkan untuk membangun kilang minyak, belum lagi persoalan efisiensi Pertamina.
Bagaimana energi baru dan terbarukan sebagai pengganti minyak bumi ?
Mengenai energi terbarukan, salah satu kebijakannya adalah relasi antara energi primer dan sekunder yang berbasis keunggulan energi lokal. Kalau Kaltim basis kekuatannya pada batubara, maka power plantnya batubara. Kalau Sumsel pada gas, maka power plantnya gas. Kalau Jawa Barat pada geothermal, maka power plantnya geothermal. Jadi pemberdayaan daerah berbasis pada keunggulan energi lokal sehingga tidak terjadi ketergantungan. Setelah berbasis energi lokal, maka baru terpikirkan untuk membangun energi terbarukan. Jadi relasi energi fosil ke energi terbarukan dalam satu mata rantai.
Bagaimana dampaknya jika harga BBM dinaikkan ?
Jika harga BBM naik Rp 2000 per liter, maka angka kemiskinan akan naik 1 persen atau 1,2 juta keluarga berubah menjadi miskin dengan harga kebutuhan pokok melambung tinggi. Belum lagi naiknya angka inflasi dan pengangguran. Jadi tidak benar jika dampak kenaikan BBM hanya shock market atau sesaat saja. Selama ini pemerintah tidak pernah terbuka mengenai struktur biaya produksi minyak dalam negeri dan impor, sehingga menyebabkan betapa empuknya industri minyak mengambil keuntungan sekaligus merajalelanya korupsi di industri minyak Indonesia.
Mengapa pemerintah tidak membangun SPBG secara besar besaran sehingga transportasi bisa menggunakan gas seperti di Thailand ?
Pemerintah hanya omong doang. Pemerintah gagal dalam menjalankan kebijakan konversi minyak ke gas. Seharusnya untuk membangun SPBG bisa dianggarkan dalam APBN karena itu merupakan bagian dari infrastruktur. Anggaran di APBN sebenarnya hanya persoalan politik saja.
Kalau Pertamina untung Rp 29 triliun, mengapa Rp 5 triliun tidak untuk membangun kilang minyak dan Rp 5 triliun untuk SPBG. Dengan harga pembangunan SPBG besar mencapai total Rp 200 miliar per unit, maka bisa dibangun 25 SPBG per tahun, padahal jumlah SPBU sekarang mencapai 5000 di seluruh Indoensia. Kita tak perlu khawatir kekurangan gas alam, sebab cadangan gas alam Indonesia termasuk besar di dunia.
Menurut Anda, bagaimana sebaiknya kebijakan energi Presiden baru nanti ?
Presiden baru wajib mengembalikan kebijakan energi ke ekonomi konstitusi. Presiden wajib tunduk pada konstitusi Pasal 23 dan 33 UUD 1945. Kalau subsidi barang digeser ke orang, itu Neoliberal dan bertentangan dengan ekonomi konstitusi dan itu pesanan World Bank. Indonesia telah memerangkap diri pada gerakan ekonomi global dimana semuanya tunduk pada free market mechanism. (Abdul Halim)