BEKASI (voa-islam.com) - Pengambilalihan Masjid Muhammad Ramadhan (MMR) oleh Pemkot Bekasi pada Ahad (20/04/2014) lalu, masih menyisakan pilu. Tidak hanya kondisi masjid yang menjadi sepi kegiatan shalat lima waktunya, juga sebagian orang yang menggantungkan dapurnya di masjid tak jelas nasibnya. [Baca:Nasib MMR Pasca 'Dikudeta', Dzuhur Sampai Isya' Tak Ada Kumandang Adzan]
Tim voa-islam.com dilapangan berhasil melakukan wawancara dengan Bapak Verry Koestanto, salah seorang anggota DKM MMR bagian management masjid. Tugasnya selama ini bukan hanya mengurusi soal kebersihan dan kenyamanan masjid saja, tapi juga mengurus kesejahteraan para imam dan marbot.
Saat terjadi pengerahan massa yang sebagian bertampang preman dalam eksekusi ‘perampasan’ MMR, Pak Verry –sapaan akrabnya- sedang berada di rumah orang tuanya di wilayah Jawa Tengah untuk merawat ibunya yang sakit.
“Sedih saya mendengarnya,” tuturnya kepada voa-islam.com menceritakan saat pertama kali mendengar kisah konspirasi ‘perampasan’ rumah Allah yang makmur kegiatan ibadah dan hidayahnya in, Senin (19/05/2014).
Pak Verry bercerita, “Pertama kali saya mendengar ada pengambil alihan masjid oleh Pemkot yang dilanjutkan dengan penggembokan semua ruangan, pengusiran imam dan marbot serta usaha dagang yang dirintis oleh masjid yaitu warkhu (warung ukhuwah,-red-) saya langsung telpon salah satu DKM.”
“Dikemanakan orang-orang saya?” tanyanya yang bermaksud para marbot & imam masjid.
Namun waktu itu tidak ada yang bisa menjawab. “Sorenya barulah satu persatu saya hubungi via telp, rata-rata mereka menjawab belum tahu pak nasib kami”.
Perlu diketahui, saat pengambilalihan tersebut, di MMR ada 2 imam yang hafal Al-Qur'an (hafidz), yaitu Ustadz Faiz dan Ustadz Sofyan.
Ustadz Faiz adalah salah satu pengajar di SDIT Al-Anshar di bawah Yayasan Islam Al-Anshor. Prestasinyatidak diragukan lagi, beberapa anak didiknya pernah menjuarai lomba tahfidz tingkat Kota se Bekasi Raya.
Sedangkan Ustadz Sofyan adalah anak kampung Pekayon asli. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa di Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Jakarta. Dan Ustadz lulusan Pondok Pesantren di kota Solo ini sedang menyusun skripsi untuk syarat kelulusannya.
Selain keduanya, ada sekretaris yang juga membantu kelancaran kajian MT Ummahat, yaitu Ustadz Iman beserta istrinya. Keduanya juga asli orang Pekayon – Bekasi. Bahkan memiliki hubungan kekerabatan dengan para tokoh, kyai dan ustadz di wilayah Pekayon dan sekitarnya.
Dia juga salah satu anak kampung Pekayon lulusan dari salah satu pondok pesantren di kota Solo. Setelah lulus, Ustadz Iman mengabdikan dirinya untuk MMR menjalankan program dakwah dan ibadah. Sementara istrinya menjadi salah satu pengajar TPA MMR.
Masih ada orang lain yang terkena imbas kesewenang-wenangan Pemkot Bekasi merampas MMR dan diserahkan kepada kelompok tertentu untuk mengelolanya. Adalah Nata dan istrinya. Mereka berdua juga warga asli kampung yang bertetanggan dengan Ustadz Iman. Nata dan istrinya bertugas sebagai penjaga kebersihan tempat Wudlu ikhwan dan akhwat.
Lasimin dan Syafei, keduanya merupakan saksi awal pembangunan masjid. Sejak dimulainya pembangunan Masjid megah berlantai dua ini, keduanya menjadi tenaga utama dalam menjaga kebersihan baik ruang shalat maupun kebersihan sekitar masjid.
Bapak Eman, seorang Dhuafa’ yang hidup sebatang kara bersama anaknya Imam (10 tahun) yg sudah tidak sekolah lagi (putus sekolah). Setelah ibunya meninggal dunia, ia mengikuti bapaknya tinggal di masjid MMR sebagai petugas penjaga malam. Sebelum menjadipenjaga malam MMR, mereka berdua sering tidur di teras masjid. Namun sekarang mereka harus terusir dari masjid karena pengurusnya yang tidak koperatif dan tak ada belas kasihan.
Dan atas belas kasihan salah seorang pengurus DKM MMR yang lama, Pak Eman dan anaknya dikontrakkan rumah.
Masih ada lagi yang manjadi korban,yaitu Agus. Ia bertugas sebagai penjaga warkhu (warung ukhuwah). Pada saat pengamblalihan masjid, inventaris warung ikut dirampas. Dan Warkhu tidak boleh ada lagi di masjid.
Perlu diketahui, Agus ini mantan pengusaha grosir sembako. Karena salah langkah dan terjebak rentenir dia menjadi bangkrut. Setelah bertobat dia ingin mengabdikan ilmunya untuk masjid, yaitu agar masjid menjadi pusat perdagangan/tumpuan perdagangan kaum muslimin. Tentunya bersama-sama para pedagang lain menggear dagangan di area sekitar masjid pada hari Jum’at dan hari Ahad yang rutin diadakan kajian dan tabligh Akbar.
Itulah beberapa orang yang selama ini menggantungkan kehidupan ekonominya di Masjid Muhammad Ramadhan. Saat ini kondisi mereka tak menentu. Mereka menjadi korban ‘politik’ yang dimainkan Pemkot Bekasi dan sejumlah pihak yang rakus ingin menguasai masjid yang sudah berdiri megah tanpa mau bersusah payah.
Banyak pihak menyayangkan keputusan Pemkot yang mengambil alih masjid dengan paksa tanpa ada Surat Keputusan (SK).
Pemkot seharusnya bangga dengan adanya masjid yang tidak pernah sepeserpun minta bantuan atau subsidi kepada pemerintah. Bahkan, sebaliknya bisa mengentaskan kemiskinan rakyatnya. Bukan penghargaan yang diberikan, tapi justru Pemkot mengambil alih paksa masjid yang sudah makmur yang menyebabkan sebagian warganya menderita.
Perlu diketahui, salah satu program DKM MMR yang lama adalah memberikan asuransi kesehatan dan pensiun kepada para Imam dan Marbot yang sudah lama pengabdiannya. Sehingga manakala sakit, mereka tak harus pusing memikirkan biaya berobat. Pun juga tak perlu diambilkan kas dari masjid.
Saat mereka sudah tua dan tidak mampu lagi menjadi petugas, maka ada uang pesangon dari luar kas masjid yang berasal dari uang infak. [PurWD/voa-islam.com]
Baca: Siapa yang Pantas Menjadi 'DKM' Masjid Menurut Al-Qur'an?