SURABAYA (voa-islam.com) - Tekad Walikota Surabaya, Tri Rismaharini menutup lokalisasi Gang Dolly, mendapat tantangan dari Wakil Walikota Surabaya, Wisnu Sakti Buana. Kedua politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu berbeda sikap.
Sejak awal, Wisnu Sakti Buana menegaskan bahwa penolakan penutupan Gang Dolly merupakan konsep PDI-P dalam melihat realitas sosial prostitusi di lokalisasi Dolly. Ketua DPC PDI-P Kota Surabaya itu mengatakan, sejak Surabaya dipimpin Bambang Dwi Hartono (Wali Kota sebelum Tri Rismaharini), PDI-P tidak pernah memiliki rencana menutup Dolly.
“Kami tidak pernah memiliki rencana menutup Dolly, yang ada hanya pembatasan PSK dan pembatasan aktivitas prostitusi,” kata Wisnu seperti dikutip Kompas (13/05).
Wisnu mengatakan, PDI-P sebagai partai yang berbasis “wong cilik” sangat sadar, secara ekonomi puluhan ribu warga sudah sangat bergantung pada aktivitas lokalisasi di Dolly. Fakta itu sudah berlangsung puluhan tahun sejak Dolly ada sekitar tahun 1966.
Wakil Wali Kota Surabaya itu pun menyerang atasannya, yakni Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Ia menyebut Risma arogan, karena menargetkan penutupan lokalisasi Dolly, tetap pada 19 Juni 2014.
Jika pemkot Surabaya tetap akan melakukan penutupan lokalisasi Dolly pada 19 Juni 2014, maka besar kemungkian akan chaos (timbul kekacauan) karena secara tegas Wawalikota Surabaya, Whisnu Sakti Buana, menyatakan dirinya bersama kader akan siap berada di posisi warga sekitar Dolly yang terdampak.
Wakil Walikota Surabaya ini rupanya tidak main-main atas pernyataannya yang akan membela tempat pelacuran yang dikenal bernama Dolly, jika pemkot Surabaya benar-benar akan melakukan penutupan pada 19 Juni 2014, karena himbauan penundaan yang dilontarkannya merupakan keputusan partai.
“Soal Dolly adalah prinsip, karena menyangkut hajat orang banyak, maka sikap saya dan partai (PDIP) tegas agar pemkot Surabaya terlebih dahulu mengajak bicara warga kota Surabaya asli yang terdampak, karena PSK dan Mucikari disana seratus persen bukan warga kota Surabaya,” ucap Wisnu Sakti.
Ditanya apakah hal itu berarti seluruh kader PDIP kota Surabaya akan turut terjunkan untuk membantu warga sekitar Dolly, Wisnu mengaku bahwa melakukan pembelaan kepada masyarakat merupakan program partai yang multak harus dijalankan oleh kader. “Itu sudah jelas, karena merupakan program partai yang harus di laksanakan,” tegas Wisnu.
Wisnu juga menyatakan bahwa dirinya bersama kader partai akan siap berada dibarisan warga kota Surabaya sekitar lokalisasi gang Dolly yang terdampak, jika pemkot Surabaya memaksakan program penutupannya pada tanggal 19 Juni mendatang. “Ya kita lihat saja nanti, karena kami tidak akan tinggal diam, dan saya bersama kader PDIP akan berada disana bersama warga setempat,” tegasnya.
Mantan wakil ketua DPRD Surabaya ini menegaskan, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan Pemkot Surabaya tidak pernah secara serius melakukan sosialisasi ke warga terkait penutupan tempat haram terbesar se-Asia Tenggara ini. “Selama ini pemkot terkesan sangat arogan. Ini (Dolly) ditarget tutup. Padahal program yang dilakukan pemerintah itu apa,” katanya.
Sebelumnya target waktu penutupan Gang Dolly sebelum Ramadhan dilontarkan oleh Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini pada akhir tahun lalu, dan kembali ditegaskan pada April 2014. “Bulan puasa nanti, di Surabaya harus sudah tidak ada tempat seperti itu (lokalisasi), pokoknya kita dorong terus agar tepat waktu,” tegas Risma.
Agar program penutupan Dolly mulus dan tepat waktu, Risma koordinasi secara intens dengan Kementerian Sosial (Kemensos). Dia mengakui menutup lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara itu bukan perkara mudah lantaran harus memikirkan dampak dari segi ekonomis.
Sementara itu, sebanyak 58 Ormas Islam yang tergabung dalam Gerakan Umat Islam Bersatu (GUIB) Jawa Timur, mendatangi Tri Rismaharini ke Balai Kota Surabaya, Rabu 14 Mei 2014.
Ormas-ormas Islam tersebut diantaranya Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur, Muhammadiyah Jawa Timur, Hidayatullah Jawa Timur, Perhimpunan Al Irsyad Jawa Timur, Dewan Masjid Indonesia Jawa Timur, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Jawa Timur, FPI Jawa Timur, Persatuan Islam (Persis) Jawa Timur, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jawa Timur dan lainnya.
Di bawah komando Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, mereka mendukung rencana Risma menutup Dolly, dan siap memback-up penuh rencana penutupan lokalisasi itu. “Pokoknya kita berada di belakang Ibu Risma. Pada intinya, 58 Ormas Islam di Jawa Timur tetap mendukung rencana wali kota menutup tempat tempat prostitusi, khususnya Gang Dolly pada 19 Juni atau 10 hari sebelum bulan Ramadhan tahun ini. Kami harap tidak ada perubahan,” terang Sekretaris MUI Jawa Timur, M Yunus di balai kota.
Koordinator GUIB Jatim, H. Abdurrachman Azis, mengatakan pihaknya bertemu walikota untuk memberikan dukungan moril kepada walikota terkait rencana penutupan Dolly. Dukungan itu diwujudkan dalam enam butir pernyataan sikap GUIB Jatim yang dibacakan di hadapan walikota.
Enam butir pernyataan itu diantaranya mendukung sepenuhnya kebijakan Pemkot Surabaya untuk menutup lokalisasi Dolly tanggal 19 Juni 2014 sebagaimana tertuang dalam kesepakatan dengan Gubernur Jatim. Serta, mengutuk dengan keras atas tindakan pihak tertentu yang membonceng isu penolakan penutupan tempat-tempat prostitusi di Surabaya khususnya Dolly untuk kepentingan politis-pragmatis jangka pendek dengan mengatasnamakan masyarakat terdampak. “Intinya, kami mendukung ibu walikota untuk menutup tempat-tempat prostitusi sebelum bulan Ramadan,” tegas Abdurrachman Azis.
Walikota Surabaya, Tri Rismaharini menyatakan berterimakasih atas dukungan GUIB Jatim. Namun, walikota menegaskan bahwa yang paling utama dalam upaya revitalisasi kawasan lokalisasi Dolly adalah terjaganya kondusifitas di Kota Surabaya. “Saya tidak ingin ada gesekan, saya harus bisa menjaga kondusifitas Surabaya. Saya yakin panjenengan niatnya baik. Jadi saya mohon didoakan supaya kami kuat. Kami mohon diberikan kesempatan untuk menyelesaikannya dulu. Saya yakin, kalau kita niatnya baik, Insya Allah, Allah akan membantu,” tegas walikota.
Selain itu, munculnya polemik yang menyatakan bahwa penutupan lokalisasi Dolly belum siap disayangkan Ketua PW NU Jatim KH Hasan Mutawakkil Alallah. Dia menilai sikap itu bertentangan dengan cita-cita masyarakat Surabaya dan sekitarnya.
Pernyataan Mutawakkil disampaikan saat Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Kota Surabaya Supomo bersama jajarannya bersilaturahmi ke kantor PW NU Jatim. Mutawakkil memahami bahwa pro dan kontra pasti ada. Tapi, jangan sampai kelompok yang demikian itu dituruti.
Mutawakkil menegaskan, penutupan lokalisasi tersebut merupakan cita-cita dan amanat masyarakat yang diamanahkan kepada pemerintah. Gubernur maupun wali kota memiliki tanggung jawab untuk merealisasikan cita-cita itu. ”Bila ada yang menentang, sama artinya mereka berhadapan dengan masyarakat,” ucapnya.
Penutupan 19 Juni nanti merupakan realisasi rencana yang sudah muncul jauh-jauh hari. Jangan sampai batal dan tertunda lagi. Apalagi, persiapan sudah disusun secara rapi.
Terkait dengan adanya isu bakal muncul pengerahan massa yang menolak penutupan, Mutawakkil meminta aparat bertindak tegas. Sebab, penutupan lokalisasi sudah menjadi program pemerintah yang didukung masyarakat. Ketika ada yang menentang, secara tidak langsung mereka akan berurusan dengan hukum. ”Sudah sepatutnya ditindak,” tegasnya.
Bila mereka tetap memaksa, masyarakat yang tergabung dalam organisasi NU juga cukup banyak. Mereka siap turun ke lapangan untuk membantu pemerintah dalam memerangi kemaksiatan di masyarakat. Tapi, Mutawakkil meminta sebisa-bisanya jangan sampai ada pengerahan massa. ”Semua ada jalurnya, makanya aparat harus tegas,” tutur dia.
Dibagian lain, Febria Rachmanita, Kadinkes Surabaya, mengatakan, jumlah rakyat di komplek Dolly yang terkena HIV jumlahnya sudah mencapai 300 orang lebih. Mengapa Dolly tidak boleh ditutup? [adivammar/kabar/voa-islam.com]