JAKARTA (voa-islam.com) - Jokowi dan Iriana yang menjadi anggota Rotary Club, berusaha mendapatkan dukungan mayoritas Muslim Indonesia. Dengan berbagai cara. Ini semua tujuannya hanya satu : ‘Suara umat Islam’. Tidak ada yang lain. Karena demokrasi itu, hakekatnya hanyalah kuantitas, bukan kualitas. Maka, Jokowi terus mencoba menyamakan identitas dirinya dengan mayoritas bangsa Indonesia, yaitu bangsa Muslim.
Jadi, tak aneh kalau Jokowi bersandiwara dengan melakukan permainan sandiwara atau bersandiwara, sebagai ‘Muslim’. Walaupun dengan sangat terang benderang, bagaimana sikap para pendukungnya, terutama kalangan nasioanlis sekuler, liberal, dan phalangis (Kristen), tak hendak dan ingin menjadikan Islam dan Muslim sebagai agendanya, ketika nanti berkuasa.
Dalam bab masalah moral, terkait dengan penutupan komplek pelacuran terbesar di Asia Tenggara, Dolly, justru yang gigih menentangnya adalah PDIP, yang dipelopori oleh Wakil Walikota Surabaya, Wisnu Buana. Tidak berubah. Saat menjelang penutupan masih berlangsung aksi penolakan. Dibelakangnya mereka kader-kader PDIP. Mengapa harus begitu luar biasanya, mempertahankan Dolly?
Memang, bab moral dikalangan PDIP itu, sudah tidak lagi menjadi ukuran atau standar, tak aneh kalau PDIP merupakan partai yang paling korup, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh KPK Watch. Sejak 2002-2013, tak kurang lebih dari 115 kader dan elite PDIP yang sudah menjadi tersangka atau sudah masuk bui.
Jadi Jokowi yang ingin melakukan revolusi ‘mental’ itu, bagiamana caranya atau bentuknya. Karena, lingkungan di PDIP, dan partai-partai pendukungnya elitenya dan kadernya secara moral sudah bobrok? Jokowi berobsesi melakukan revolusi mental bangsa Indonesia, agar menjadi bangsa yang maju. Tetapi, di dalam internal PDIP, moralitasnya kader dan elitnya tidak mendukungnya. Mungkin Jokowi juga tidak pernah mengerti tentang 'revolusi mental’.
Klaim Jokowi kerap menjadi korban kampanye hitam khususnya dalam isu agama, dalam kenyataannya tidak berbanding lurus dengan sikap Jokowi dan tim pendukungnya. Lihat MetroTV, bagaimana konten siarannya dan cara-cara melakukan pembodohan terhadap rakyat Indonesia, tanpa ada sedikitpun rasa malu? Belakangan si ‘kribo’, yang menjadi dedengkot kaum liberal dan sekuler, dan sosialis ‘gadungan’ itu, membuat gambaran bluruk terhadpa Prabowo, melalui gambar-gambar yang diunggah di akunnya. Sungguh bobrok moralnya. Menghalalkan segala cara, benar-benar Machiavellisi.
Sebaliknya, Jokowi dan tim pendukung justru menggunakan instrumen dan simbol agama dalam mendapatkan dukungna politik dari umat Islam.
Seperti Jokowi, tak henti-henti mencari dukungan politik dari kalangan ulama. Dia bersedia bermalam di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. Sampai, Jokowi mengeksploitasi salat, bertindak sebagai imam salat, dan beberapa kesempatan diekspose secara massif. Testimoni dari berbagai kalangan atas salat Jokowi pun muncul. Seperi soal bacaan salat Jokowi yang bagus.
Tentu, yang sangat spektakuler, yaitu istri Jokowi, Iriana saat menghadiri debat capres tahap kedua, tampil dengan menggunakan jilbab, hal yang tak akan pernah terjadi sebelumnya. Mudah memahami maksud dari eksploitasi ibadah Jokowi tersebut yakni agar diketahui publik bahwa Jokowi adalah muslim taat.
Tidak hanya dengan salat, Jokowi juga diupayakan untuk dipersepsikan sebagai muslim Indonesia pada lazimnya. Dalam dua kali forum terbuka di Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jokowi tak segan mengucap "mukaddimah", kata pembuka versi arab yang berisi pujian pada Allah Swt dan shalawat pada Nabi Muhammad SAW. Bagi tim pendukung, mukaddimah Jokowi menjadi bukti tentang keislaman Jokowi. Meski tak sedikit yang mengritik pelafalan bahasa Arab Jokowi yang belepotan alias kurang tepat.
Jokowi yang ingin dipersepsikan sebagai "Muslim Sejati", kenyataannya tidak berbanding lurus dengan rencana pendukung atau tim kampanyenya. Semuanya, hanyalah berpura-pura menjadi ‘Muslim’, dan hanyalah menabur kepalsuan di depan rakyat. Tujuannya ingin membodohi kalangan Muslim.
Seperti Tim Kampanye Jokowi-JK Eva Kusuma Sundari yang menyatakan PDI Perjuangan meminta kadernya mengawasi isi materi khutbah di masjid-masjid. Langkah ini sebagai upaya menangkal kampanye hitam yang dalam pandangan Eva kerap terjadi di masjid. "Karena memang serangan kepada Jokowi-JK di masjid-masjid intensif," kata Eva akhir Mei lalu.
Tidak hanya itu, pernyataan Tim Advokasi Jokowi-JK Trimedya Pandjaitan yang menegaskan jika kelak Jokowi-JK memimpin Indonesia akan melarang penerbitan Peraturan Daerah (Perda) syariat Islam. "Ke depan kami berharap Perda syariat Islam tidak ada. Ini bisa mengganggu kemajemukan karena menciptakan pengotak-ngotakan masyarakat," kata Trimedya di kantor DPP PDI Perjuangan, Jakarta, Rabu (4/6/2014).
Lalu, gagasan dari anggota Tim Kampanye Nasional Jokowi-JK Musah Mulia yang mengatakan tidak perlu kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Alasannya, agama menjadi persoalan pribadi. "Enggak peru ditanyakan, kamu agamanya apa untuk pelayanan publik. Jadi identitas agama itu hanya ada di buku induk," kata Musdah dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (18/6/2014).
Sungguh kaum Muslimin hanyalah akan menjadi korban kepalsuan dan kebohongan dari Jokowi dan tim kampanye. Mereka menghabiskan dana ratusan miliar, dan mungkin menjadi triliun, membangun citra Jokowi, tanpa henti. Sehingga, Jokowi seakan-akan seperti tokoh Muslim, yang jujur, sederhana, dan merakyat. Tetapi, semua hanyalah sebuah ‘rekayasa’ sosial, melalui media massa, media sosial, dan para jurkam kampanyenya yang penuh dengan kepalsuan.
Aslinya, Jokowi benci dan musuh umat Islam. Itu sudah sangat tergambar jelas, seperti yang diucapkan oleh Hendropriyono,Triemedya Panjaitan, Musdah Mulia, Wimar Witoelar, dan mereka itu,adalah kumpulan orang-orang yang diubun-ubunya, penuh dengan kebencian dan permusuhan terhadap Islam dan Muslim. (JJ/dbs/voa-islam.com)