JAKARTA (voa-islam.com) - Lahir Pembela Obor Rakyat (FPOR), yang melakukan pembelaan terhadap Obor Rakyat, dan menilai laporan terhadap tabloid Obor Rakyat melanggar UUD l945 pasal 28E ayat 3 soal hak atas kebebasan berpendapat.
Edy Mulyadi sebagai deklarator FPOR membacakan pernyataan sikap FPOR, yang dibacakan, di Cikini, Jakarta, Jumat (20/6/2014).
Menurutnya, setiap warga negara berhak untuk berkomunikasi memperoleh informasi sebagaimana dalam pasal 28E ayat 3 UUD 1945. "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Dalam Pasal 28E ayat 3 UUD 1945," katanya. Menurutnya, kampanye hitam dan kampanye negatif sebagaimana yang dialamatkan kepada tabloid Obor Rakyat adalah sesuatu yang sama sekaligus berbeda.
"Persamaannya, keduanya sama-sama menyebarluaskan segala keburukan dan kelemahan pihak lain. Bedanya, pada kampanye hitam konten yang disiarkan itu tidak terbukti kebenarannya atau fitnah belaka. Sedangkan kampanye negatif substansi materinya benar," katanya.
Oleh sebab itu, kata Edy, apa yang dilakukan tabloid Obor Rakyat adalah kampanye negatif. Dimana, kampanye negatif sangat perlu dilakukan dengan tujuan informasi publik kepada calon presiden Indonesia ke depan.
"Ini bukan cuma perlu, tapi bahkan harus. Dalam memilih pemimpin, rakyat tidak boleh ibarat membeli kucing dalam karung. Contohnya, fakta bahwa Jokowi tidak amanah karena melanggar sumpahnya yang akan memimpin Jakarta sampai lima tahun jelas tidak terbantahkan," tegasnya.
Sementara itu, Bawaslu telah menyatakan bahwa pihaknya tidak bisa menindak dugaan kampanye hitam yang ditujukan kepada pengelola tabloid Obor Rakyat. Namun rupanya pihak pelapor dalam hal ini timses Jokowi, merasa tidak puas, sehingga kasus ini ke ranah kepolisian.
Menanggapi hal ini, pengamat Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Iswandi Syahputra mengatakan bahwa hal itu justru akan semakin menguatkan bahwa apa yang ditulis oleh Obor Rakyat adalah benar adanya.
"Laporan yang dilakukan Jokowi tersebut tidak akan mengurangi persepsi masyarakat karena masyarakat sudah terlanjur percaya dan melekat dibenak yang baca," kata Iswandi saat dihubungi, Kamis (19/6).
Menurutnya, berita dalam tabloid itu fakta. Misalnya dikatakan Jokowi itu tidak amanah, memang benar capres nomor urut 2 itu tidak menuntaskan tugasnya sebagai Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta.
"Kemudian juga dikatakan Jokowi itu boneka, ya Megawati sendiri bilang kan kalau Jokowi itu petugas partai yang disuruh nyapres. Juga disebut pro asing, nah kan sebelum pendaftaran ke KPU mereka ketemu dulu dengan Dubes asing," kata Iswandi
Dibagian lain, pilpres 2014 membuktikan bahwa ada pihak yang menerapkan standar ganda. Dimana, pihak yang mengklaim diri sebagai pejuang kebebasan pers sesungguhnya berlaku standar ganda.
Deklarator Front Pembela Obor Rakyat (FPOR) Edy Mulyadi mengatakan pihak yang melaporkan tabloid Obor Rakyat menerapkan standar ganda.
"Ternyata mereka hanya akan menyokong kebebasan berpendapat dan kebebasan pers, bila hal itu menguntungkan diri dan kelompok saja," kata Edy saat membacakan pernyataan sikap FPOR di Cikini, Jakarta, Jumat (20/6/2014).
Menurutnya, ketika kebebasan berpendapat dan kebebasan pers itu berseberangan bahkan merugikan kepentingannya, maka kubu Jokowi tidak segan-segan memperkarakan dan berusahan mempidanakan.
"Itulah yang kini mereka lakukan terhadap para pengelola tabloid Obor Rakyat," tegas Edy.
Edy mengatakan, tabloid Obor Rakyat telah mengalami diskriminasi. Semestinya, kata Edy, kubu Jokowi menerapkan hal yang sama kepada media yang berpihak kepada salah satu kandidat capres. "Kalau Obor Rakyat diperiksa seharusnya pengelola media lain diperiksa juga biar fair," kata Edy.
Nampaknya, para pendukung Jokowi sangat panik, dan tidak berfikir dengan ‘commonsense’ (akal sehat), sehingga harus melaporkan kasus ‘Obor Rakyat’ kepada fihak kepolisian.
Padahal, apa yang dilakukan oleh MetroTV, melebihi ‘Obor Rakyat’, khususnya dalam melakukan ‘black campaign’ terhadap Prabowo. (jj/inlh/voa-islam.com)