View Full Version
Ahad, 29 Jun 2014

Konsep Revolusi Mental Jokowi Adopsi Tokoh Komunis DN Aidit & Mao Tse Tung

Jakarta (voa-islam.com) - Mayor Jendral Purnawirawan Kivlan Zein menyatakan jika program Jokowi terkait revolusi mental merupakan hasil adopsi dari apa yang pernah diucapkan oleh mantan ketua PKI di tahun 60′an, Dipa Nusantara Aidit. Dengan keras ia menyatakan jika revolusi mental merupakan turunan dari PKI (Partai Komunis Indonesia).

Hal itu dikatakan oleh Kivlan Zein saat menghadiri acara Sayap Tanah Air di Sukmajaya, Depok, Kamis (27/6/14).

“Sekarang kita sudah diatas angin dan mereka kotak-kotak me resah dan takut sehingga meraka membuat on dengan membakar dan mencabut banyak atrib kita sehingga terjadi bentrok. Revolusi yang mereka gadang adalah turunan dari PKI karena pertama kali yang menyatakan Revolusi mental adalah Aidit. Kita tahu Aidit adalah tokoh PKI, oleh sebab itu beritahu kepada masyarakat semua tentang revolusi mental ,” jelasnya.

Fadli Zon : Revolusi Mental Jokowi Ikuti Visi Komunis Mao Tse Tung

Menanggapi 'Revolusi Mental' ala Jokowi itu, kemudian Fadli Zon dalam cuitannya juga menyebut Karl Marx menggunakan istilah 'Revolusi Mental' pada tahun 1869 dalam karyanya, Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte, cetus Fadli Zon.

Selanjutnya, menurut Fadli, “Aidit PKI, hilangkan nama Achmad dari nama depannya dan ganti dengan Dipa Nusantara (DN) dengan alasan 'Revolusi Mental' yaitu hapus yang berbau agama,” sambungnya.

Aidit PKI, hilangkan nama Achmad dari nama depannya dan ganti dengan Dipa Nusantara (DN) dengan alasan 'Revolusi Mental' yaitu hapus yang berbau agama

Namun, menurut Frances Wood, mahasiswa Inggris, mengatakan, sejak 1966 Cina diramaikan hiruk-pikuk gerakan antikapitalisme. Tentara Merah menyerang para dosen, dokter, seniman, novelis, dan mereka yang dianggap tidak mewakili kaum proletar.

Gonjang-ganjing terus berlangsung sampai tahun 1975, meski tak lagi diwarnai kekejaman. Frances Wood, mahasiswi Inggris yang belajar di Institut Bahasa Asing dan Universitas Beijing tahun 1975 – 1976, ikut menyaksikan “The Great Proletarian Cultural Revolution”, yang pada masa Mao Zedong diteriakkan dengan penuh semangat, belakangan justru dianggap sebagai “Dasawarsa Penuh Bencana”.

Ketika saya belajar sastra Cina di Universitas Cambridge, 1968 – 1971, Cina sedang berada di puncak Revolusi Kebudayaan. Dunia luar tak banyak tahu apa yang sebenarnya terjadi, kecuali laporan media massa Eropa tentang mayat-mayat yang hanyut di Pearl River, dekat Hongkong dan Makao.

Selain menutup diri, negeri itu menolak segala yang berunsur Barat. Sebagai mahasiswa yang ingin belajar lebih lanjut, saya tak punya harapan untuk pergi ke Cina. Tapi dari sumber kepustakaan saya tahu, Cina senantiasa berubah seirama dengan perubahan kebijakan para pemimpinnya. Saya hanya bisa berharap dari perubahan itu.

Pemimpin Besar Mao Tse Tung memainkan peran penting sejak berdirinya Republik Rakyat Cina pada 1949.

Ia menyingkirkan para pesaing dan musuhnya. Misalnya, ia menyerukan gerakan Anti-Kanan pada 1957 untuk menyingkirkan Zhou Enlai, pelopor gerakan Seratus Bunga tahun 1956.

Mao memprakarsai gerakan “Lompatan Jauh ke Depan” pada 1958 untuk memberi warna khusus bagi komunisme Cina. Berbeda dengan Soviet yang bertumpu pada industri berat, Mao menggalakkan pertanian yang ditunjang industri kecil di pedesaan. “Kalau Stalin hanya punya satu kaki, industri berat, kita punya dua kaki, yakni pertanian dan industri kecil,” ucap Mao.

Para pejabat sadar, ambisi Mao terlalu utopis. Tapi karena takut, mereka memberi laporan ABS. Angka produksi digelembungkan, data dan foto hasil panen direkayasa, sementara kenyataannya para petani menderita. Sepanjang 1958 – 1961 tak kurang dari 30 juta orang meninggal karena kelaparan.

Akhir 1958 Mao mundur dari jabatan sebagai pimpinan Partai Komunis. Ia sengaja mengambil jarak dari pusat kekuasaan agar bisa melihat betapa para pimpinan menjadi borjuis dan korup. Rakyat kehilangan semangat revolusioner. Bagi Mao, kenyataan itu tak bisa dibiarkan. Harus ada reformasi untuk meluruskan kembali jalan revolusi. Itulah Revolusi Kebudayaan. “Kebudayaan” tidak hanya berarti kesenian, melainkan seluruh aspek dan lembaga kemasyarakatan.

Mao mengerahkan ribuan pelajar dan mahasiswa ke Lapangan Tiananmen di pusat Kota Beijing. Mereka membawa buku kecil warna merah, The Little Red Book, berisi kutipan naskah-naskah pidato Mao.

Belakangan gerakan diperluas ke kalangan pekerja, buruh, dan petani. Mereka mengecam siapa pun yang berada dalam posisi pimpinan. Sering kecaman berubah menjadi sanksi atau hukuman. Korban berjatuhan, baik karena hukuman maupun bunuh diri.

Seorang dokter ahli bedah otak, misalnya, tiba-tiba dimutasi menjadi petugas kebersihan WC. Dosen atau petinggi universitas dialihtugaskan ke peternakan babi. Birokrat dikirim ke pedalaman agar menghayati keadaan rakyat.

Revolusi Kebudayaan juga menyertakan istri Mao, mantan bintang film tak terkenal Jiang Qing, untuk menyingkirkan para pesaingnya dalam ranah kesenian. Opera, film, dan panggung teater didominasi produksi Madam Mao. Lukisan bunga dan alam tak boleh dipasang, diganti gambar bendera merah, traktor di ladang, atau gambar Mao dalam ekspresi heroik.

Kaum perempuan tak boleh lagi berambut panjang dan dandan sesukanya. Jika ketahuan Tentara Merah, rambut mereka akan dipotong dan celana panjang ketat mereka akan dirobek di depan umum. Banyak pengarang dipenjara, dibuang ke kamp kerja paksa, atau dibiarkan frustrasi hingga bunuh diri. Beberapa pemusik atau pianis dipotong jarinya oleh Tentara Merah.

Sejak 1971 keadaan menjadi normal dalam versi Mao. Sekolah dan universitas dibuka kembali dengan syarat hanya buruh dan petani yang boleh belajar. Mahasiswa asing dan turis boleh datang, meski dalam wilayah terbatas. Para turis hanya disuguhi traktor dan sistem irigasi disertai pidato propaganda.

Saya beruntung tahun itu bisa ikut dalam rombongan pertama mahasiswa asing yang mengunjungi Cina setelah tertutup sejak 1966. Saya senang bukan karena bisa berkomunikasi dengan rakyat Cina dalam bahasa mereka, tetapi karena setiap kali bisa berbagi makan dengan mereka yang ternyata memang kelaparan.

Mungkinkah yang dimaksudkan 'Revolusi Mental' ala Jokowi itu, juga 'Revolusi Kebudayaan' ala Mao Tse Tung?  Revolusi yang dijalankan oleh Mao di daratan Cina, dan mengubah rakyatnya secara radikal dengan dasar ideologi komunis. (jj/berbagaisumber/voa-islam.com)

sMayor Jendral Purnawirawan Kivlan Zein menyatakan jika program Jokowi terkait revolusi mental merupakan hasil adopsi dari apa yang pernah diucapkan oleh mantan ketua PKI di tahun 60′an, DN Aidit. Dengan keras ia menyatakan jika revolusi mental merupakan turunan dari PKI.

Hal itu dikatakan oleh Kivlan Zein saat menghadiri acara Sayap Tanah Air di Sukmajaya, Depok, Kamis (27/6/14).

“Sekarang kita sudah diatas angin dan mereka kotak-kotak me resah dan takut sehingga meraka membuat on dengan membakar dan mencabut banyak atrib kita sehingga terjadi bentrok. Revolusi yang mereka gadang adalah turunan dari PKI karena pertama kali yang menyatakan Revolusi mental adalah Aidit. Kita tahu Aidit adalah tokoh PKI, oleh sebab itu beritahu kepada masyarakat semua tentang revolusi mental ,” jelasnya.

Sementara itu, Walikota Depok, Nur Mahmudi I’smail yang turut hadir dalam orasi politiknya  mengajak para relawan untuk tidak lengah dan mengajak para masyarakat serta kader untuk datang ke TPS pada tanggal 9 Juli mendatang.

“Pentingnya relawan sangat dibutuhkan dalam menangkal isu-isu negatif serta money politik. Oleh sebab itu relawan tidak boleh lengah, relawan juga harus hadir di setiap TPS. Kawal terus jangan sampai ada kekeliruan yang tidak di inginkan,”ungkap Mahmudi dalam orasinya.

- See more at: http://depoknews.com/revolusi-mental-hasil-adopsi-dari-ucapan-aidit/#sthash.MyXsgACI.dpuf

latestnews

View Full Version