JAKARTA (voa-islam.com) - Tiga lembaga survei terkemuka di Indonesia menyembunyikan hasil surveinya karena khawatir merugikan calon Presiden Jokowi.
Litbang Kompas, koran Katolik itu, 21 Juni lalu, mempublikasikan hasil surveinya tentang 2 pasangan calon presiden dan wakil presiden: Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Pasangan Prabowo-Hatta meraih dukungan 35,3 persen dan Jokowi-JK 42,3. Artinya, Jokowi-JK mengungguli Prabowo-Hatta 7 persen.
Ketika Wakil Ketua Umum Parta Gerindra Fadli Zon dimintai komentar oleh wartawan, ia menuding survei tersebut hasil bayaran. Maka Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman Tanuredjo membantah keras tuduhan Fadli. Menurut Budiman, tudingan itu melecehkan kredibilitas dan kerja-kerja intelektual tim Litbang (penelitian dan pengembangan) Kompas.
Jelas Budiman Tanuredjo mengada-ada. Bagaimana mungkin Litbang Kompas diklaimnya melakukan kerja intelektual dalam kaitan pemilihan presiden, sementara sudah diketahui bahwa Kompas (dan juga Majalah TEMPO) menjadi pendukung pasangan calon presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla. Mendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla adalah kerja politik, bukan intelektual. Terlepas motifnya demi kepentingan komersial atau yang lain.
Yang hendak dikatakan: selagi menyangkut pemilihan presiden bukan hanya hasil survei, objektivitas pemberitaan Kompas dan majalah TEMPO pun harus dicurigai karena keduanya adalah partisan, pendukung Jokowi dan Jusuf Kalla. Para pembaca harus memperoleh informasi bahwa media itu kini corong Capres Jokowi-Jusuf Kalla.
Kuat dugaan bahwa dukungan group Kompas kepada Joko Widodo alias Jokowi lebih pada kepentingan nonkomersil. Kompas sebagai organ Katolik di Indonesia dan TEMPO, majalah sekuler yang membenci Islam, merasa lebih nyaman dengan Jokowi dibanding Prabowo Subianto yang dianggap dekat dengan kelompok-kelompok Islam.
Kompas sebagai organ Katolik di Indonesia dan TEMPO, majalah sekuler yang membenci Islam, merasa lebih nyaman dengan Jokowi dibanding Prabowo Subianto yang dianggap dekat dengan kelompok-kelompok Islam.
Selain itu ternyata di Indonesia menjelang pemilihan presiden ini melakukan survei atau pooling bukan kerja intelektual seperti dibangga-banggakan Budiman Tanuredjo tadi. Paling tidak itulah yang dibongkar Sydney Morning Herald, media Australia yang terbit di Sydney, dalam edisi 25 Juni lalu.
Laporan yang berasal dari korespondennya di Jakarta, Michael Bachelard, menyebutkan bahwa hasil pooling yang dilakukan tiga lembaga survei beken yaitu CSIS, Saiful Mudjani Research and Consulting, dan Indikator (milik Burhanuddin Muhtadi) memperlihatkan bahwa Jokowi yang sebelumnya merajai survei-survei yang ada ternyata sekarang sudah dikejar Prabowo Subianto. Malah ada hasil survei yang memperlihatkan Prabowo Subianto melampaui Jokowi.
Prabowo Subianto favorit untuk memenangkan Pemilu Presiden 9 Juli yang akan datang, sesuatu yang tak terbayangkan sebulan yang lalu,’’ tulis pengamat asal Australia Aaron Connely dari Lowy Institute di Sidney Morning Herald, Selasa lalu.
Tapi inilah masalahnya. Media Australia itu sudah mengkonfirmasi sejumlah sumber bahwa CSIS misalnya, telah menyelesaikan penghitungan pooling-nya 15 Juni lalu. Tapi sampai sekarang mereka tak mempublikasikan hasil pooling itu. Hal yang sama dilakukan dua lembaga survei lainnya yang dimiliki Syaiful Mudjani dan Burhanuddin Muhtadi. Mereka juga tak mempublikasikan hasil surveinya.
Menurut penyelidikan yang dilakukan media Australia tadi, langkah menyembunyikan hasil survei itu dilakukan karena lembaga survei itu punya hubungan (entah hubungan komersil entah hubungan philosofi) dengan kubu Joko Widodo, calon presiden saingan Prabowo.
CSIS, tangki pemikir kelompok Katolik yang amat berkuasa di awal-awal Orde Baru dulu misalnya, jelas menjadi pendukung kuat Capres Jokowi. Rizal Sukma, Direktur Eksekutif CSIS, adalah penasehat Jokowi ketika dia melakukan debat dengan Calon Presiden Prabowo Subianto belum lama ini.
Maka mempublikasikan hasil survei itu dikhawatirkan akan menyebabkan mengalirnya dukungan rakyat untuk Prabowo Subianto. Soalnya mereka percaya, di Indonesia masih kuat tertanam pada rakyat sikap atau mentalitas mendukung pihak yang menang (“back the winner” mentality). Artinya, kalau kemenangan Prabowo dalam pooling itu atas Jokowi dipublikasikan, mereka khawatir Prabowo akan memenangkan pemilihan presiden yang sesungguhnya, 9 Juli mendatang.
Tapi apa pun alasannya tindakan menyembunyikan hasil survei seperti dilakukan 3 lembaga itu tentu amat memalukan dan menjatuhkan martabat para ilmuwan Indonesia. Mereka tentu memperoleh keuntungan (material atau nonmaterial) dari tindakan itu. Sebaliknya, kalau saja hasil survei tiga lembaga tadi ternyata memenangkan Jokowi, tentu survei itu akan mereka publikasikan besar-besaran.
Sikap ilmuwan seperti inilah yang menyebabkan selama ini hasil survei kita sulit dipercaya karena sering hasilnya salah. Contoh paling konkret adalah menjelang pemilihan Gubernur Jakarta di tahun 2012.
Ketika itu hampir semua lembaga survei meramalkan Gubernur petahana Fauzi Bowo akan memenangkan Pilkada Jakarta. Artinya, hampir semua lembaga itu membuat hasil survei yang salah, karena pada kenyataannya yang terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur adalah Jokowi dan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. [adivammar/AN/voa-islam.com]