BANDUNG (voa-islam.com) - Pihak Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Kota Bandung belum mau banyak bicara mengenai adanya segelintir masyarakat yang mendukung kelompok radikal Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Pihak kampus mengungkapkan, gerakan ini bisa saja muncul dari kalangan mahasiswa. Meski demikian, pihak UIN mengaku masih harus meninjaunya secara akademis.
"Sebetulnya seorang akademisi tidak boleh mengatakan itu sesat, ini tidak sesat kecuali dengan dasar argumentasi akademik," jelas Deddy Ismatullah, Rektor UIN Sunan Gunung Djati, menanggapi deklarasi dukungan terhadap kelompok itu di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Selasa (5/8) kepada ROL.
Dari sisi politik praktis, menurut Deddy munculnya dukungan terhadap gerakan ISIS di indonesia bisa saja dianggap sebagai ancaman.
Kekhawatiran ini dibangun sebagai langkah preventif bukan represif supaya negara tidak kecolongan. "Saya sedang meneliti, tidak boleh sembarang saya berbicara," katanya lagi ketika dimintai tanggapan soal ISIS.
Untuk di Bandung, ia menilai dukungan terhadap gerakan ini belum marak. Namun, ia melihat ISIS mungkin saja berkembang dari kalangan mahasiswa atau kelompok masyarakat yang merasa tidak puas dengan ketidakadilan dunia. Ketidakadilan yang ia maksud contohnya penjajahan atas Palestina oleh Israel.
Ketika ditanya potensi aksi terorisme yang mungkin muncul dari gerakan ini, Deddy tidak sependapat. Ia melihat teroris sesungguhnya adalah Israel dan Amerika.
"Ini harus dilakukan respon positif, kenapa kok terbalik-balik dunia ini, mereka (Israel-red) yang menghantam negara yang sah, saya katakan yang teroris itu Amerika dan Israel," kata dia.
Senada dengan Rektor UIN Sunan Gunung Djati, Presiden Bolivia Sebut Israel itu Negara Teroris
Presiden Bolivia, Evo Morales, mengecam Israel yang terus melancarkan serangan ke Gaza hingga menimbulkan ribuan korban tewas. Morales menyebut Israel sebagai 'negara teroris' karena tidak henti-hentinya membunuhi warga Gaza.
Morales pun mengambil langkah nyata dengan menghapuskan perjanjian bebas visa dengan Israel yang sudah berjalan sejak 1972.
''Itu (penghapusan perjanjian) berarti, dengan kata lain, kita menyatakan bahwa Israel sebagai negara teroris,'' kata Morales seperti dilaporkan media lokal Pagina Siete yang dikutip USA Today pada Kamis (31/7).
Morales menyebut Israel pantas dicap sebagai negara teroris karena negara Yahudi itu tidak menghormati prinsip-prinsip dan tujuan dari piagam PBB. Israel juga tidak menghormati prinsip-prinsip hak asasi manusia. [aj/Republika]