JAKARTA (voa-islam.com) - Joko Widodo mengangkat mantan Kepala Badan Intelijen Negara Haji Abdullah Mahmud Hendropriyono sebagai penasihat Tim Transisi. Selain Hendro, nama mantan Ketua Muhammadiyah dari kalangan liberal Ahmad Syafi'i Maarif juga bakal menduduki kursi penasihat tim.
"Saya ditugaskan jadi penasihat. Saya segera menyiapkan diri untuk memberi nasihat," ujar Hendro di Rumah Transisi, Jalan Situbondo, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 9 Agustus 2014.
Ia mengaku diminta memberikan nasihat sesuai dengan kemampuan atau rekam jejaknya. "Nasihat itu tentu yang saya tahu. Kalau tidak tahu ngapain. Yang saya ngerti soal intelijen. Saya akan memberi nasihat sekitar masalah intelijen," kata guru besar Sekolah Tinggi Intelijen Negara ini.
Ia emoh memberi tahu secara spesifik nasihat apa yang bakal disampaikan kepada tim. Ia berdalih nasihat soal intelijen bersifat rahasia. "Namanya intelijen, masak ceritakan sama kamu," ucapnya menunjuk salah seorang wartawan.
Hendro mengatakan tugas seorang penasihat tak lekang oleh waktu. "Diminta atau tidak, akan saya sampaikan. Saya ingin apa yang menjadi tujuan Rumah Transisi ini tercapai efektif dan efisen. Soal diterima atau tidak, yang penting saya sampaikan," katanya.
Ia juga mengatakan tidak bakal berkantor di Rumah Transisi. Menurut dia, kerja penasihat cenderung fleksibel. "Kalau kira-kira, kalau ada dijadikan nasihat, saya kemari. Saya tidak mau menuh-menuhin kantor."
Ihwal kabar penasihat bakal dijadikan staf ahli di kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla, ia menampiknya. "Saya sudah 70 tahun. Emangnya tidak ada yang muda. Kalau udah usia segini, harus menasihati yang dia tahu dan pernah dilakukan," tuturnya pada tempo.
Tupoksi tim membahas teknis dan menjabarkan implementasi dari visi-misi Joko Widodo-Jusuf Kalla. Tim diisi oleh pelbagai latar belakang.
Kepala staf dipegang Rini M. Soemarno, mantan Menteri Perdagangan era Megawati Soekarnoputri.
Lalu ada akademikus Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina; dan Andi Widjajanto, akademikus dari Universitas Indonesia. Terakhir ada dua politikus: Hasto Kristiyanto, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; dan Akbar Faisal, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Nasional Demokrat.
Hendro dikenal sebagai dalang Jokowi, ia bersama Luhut Panjaitan menjadikan Jokowi sebagai proxy atau boneka untuk jadi Presiden RI yang mudah disetir kepentingan asing dan aseng. Disini selengkapnya, Hendro Priyono Dalang Jokowi.
Umar Abduh: Dosa-Dosa Hendropriyono
Umar Abduh, Sekretaris Jenderal Centre for Democracy and Sosial Justice Studies (CeDSoS) mengingatkan kepada semua elemen masyarakat untuk berhati-hati dengan manuver yang tengah dimainkan mantan Kepala BIN, AM. Hendropriyono di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 ini.
Pasalnya, kata pengamat intelejen ini, bila tidak diantisipasi, maka tidak menutup kemungkinan dapat mengancam kedaulatan Indonesia.
Kata Umar menjelaskan, sejak menjabat Kepala BIN Hendropriyono sudah menggunakan menantunya yang masih berstatus sebagai perwira pasukan elit Sandhi Yudha Kopassul untuk memenuhi tujuan dan kepentingan operasi politik asing, salah satunya terkait dengan terorisme.
"Saat itu Resolusi DK PBB (Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa) Nomor 1373 tentang pemberantasan terorisme global yang ditandatangani Presiden Megawati pada 24 Oktober 2001," kata Umar dalam acara diskusi publik, di Dapur Selera, Jakarta Selatan, Selasa (10/6).
Kemudian, kata Umar Abduh, Hendropriyono menyuguhkan sandiwara dan manipulasi alur cerita pemberantasan terorisme. Hendropriyono memanipulasi aktor, figuran dalam drama kekerasan dan terorisme di Indonesia dengan target pemberhangusan Jama'ah Islamiyah.
Kejahatan yang diduga dilakukan oleh Hendropriyono itu, diungkapkannya dalam sebuah buku berjudul Konspirasi Intelijen & Gerakan Islam Radikal (KIGIR).
Dalam operasi tersebut, Omar Farouq, Yassin Syawwal, Seyam Reda, dan Tengku Fauzi Hasbi Geudong diberi label pentolan teroris Jama'ah Islamiyah yang harus diburu, ditangkap dan dieksekusi.
Penyalahgunaan kekuasaan Hendro lainnya adalah operasi eliminasi Tengku Fauzi dan seluruh dokumen yang dimilikinya di Ambon pada 22 Februari 2003.
"Dua bulan kemudian Hendro dengan demonstratif memamerkan dukungannya terhadap Pesantren Ma'had Al Zaytun, yang merupakan pesantren sesat," bebernya.
Tidak sampai disitu, sambung Umar, di akhir jabatannya sebagai Kepala BIN, Hendro meninggalkan jabatan tanpa pamit sebulan menjelang pelantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pada Oktober 2004.
"Pada momen itu dia juga mengevakuasi Kolonel AU Abdul Haris Doinny Brasco from Ciputat dengan menugaskannya sebagai sekretaris Kedubes RI di Yordania, sebelumnya dia mengevakuasi Andika Perkasa ke Amerika Serikat dengan cover cuti dinas untuk kuliah di Harvard Amerika hingga merai gelar MA MSc Phd," ungkapnya.
"Lima tahun cuti dinas dari Kopassus dan tanpa kabar tiba-tiba Andika Prakasa nongkrong di SUAD MABES AD dan empat tahun kemudian menjadi Danrem Kawal Sibolga Sumatera Utara dengan pangkat Kolonel. Dan dua bulan setelah itu diangkat menjadi Kadispenad dengan pangkat Brigjend," tandasnya.
Aktivis HAM: Hendro Terlibat Pelanggaran HAM Talangsari & Munir
Para aktivis HAM di Indonesia tentu tidak akan pernah lupa pada aktivitas intelijen Hendropriyono sepanjang Orde Baru berkuasa. Khususnya dalam tragedi berdarah Talangsari, Lampung, pada 7 Februari 1989. Ketika itu, Hendropriyono menjabat sebagai Komandan Resor Militer 043/Garuda Hitam Lampung. Selengkapnya: Siapa Agen CSIS Penerus Teror Pater Beek?
Pembantaian di Talangsari itu tak bisa terliput media massa, karena akses ke lokasi seusai peristiwa sangat sulit. Para insan pers lebih diarahkan sesuai petunjuk Danrem saat itu, yang memberikan informasi sesuai selera penguasa. Keterangan Hendropriyono menjadi satu-satunya informasi tentang peristiwa Talangsari. Peristiwa itu membuat nama Hendropriyono justru melambung, naik pangkat jadi Brigjen dan ia masuk ke lingkungan Badan Intelijen Strategis (Bais) ABRI, menempati posisi sebagai Direktur D (penggalangan).
Hubungan Benny Moerdani dengan Hendropriyono tentu sangat akrab. Hal ini terungkap dari memoar politik Jusuf Wanandi berjudul ‘Menyibak Tabir Orde Baru’ (Februari 2014). Sekitar tahun 1993, menjelang Kongres Luar Biasa (KLB) PDI di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, pada 2-6 Desember 1993, Benny Moerdani diam-diam mendorong Hendropriyono dan Agum Gumelar agar mengawal Megawati supaya terpilih.
Baik Hendropriyono maupun Agum Gumelar sebenarnya harus mengikuti jalur komando di bawah Kepala Bais Mayjen Arie Sudewo. Namun entah mengapa, keduanya justru lebih mendengarkan instruksi Benny Moerdani. Brigjen Agum Gumelar yang pernah menjadi ajudan Ali Moertopo berada di Direktorat A (Keamanan Dalam Negeri) Bais, sedangkan pada saat yang sama Hendropriyono berada di Direktorat penggalangan.
Kerja tandem dua jenderal intelijen itu pun akhirnya terbukti berhasil mendorong Megawati terpilih sebagai Ketua Umum PDI tahun 1993, menggulingkan Soerjadi yang didukung pemerintah. Para aktivis PDI waktu itu tak ada yang berani memprotes penggalangan yangdilakukan dua jenderal ini, termasuk ketika pemerintah kemudian menggelar kongres di Medan pada Juni 1996.
Di bawah pemerintahan Megawati (23 Juli 2001 - 20 Oktober 2004), Hendropriyono kembali ke panggung politik. Ia ditunjuk sebagai kepala BIN. Selama masa pemerintahan Megawati ini, kelompok muslim acap gencar dicap sebagai ‘teroris’ dan ‘radikal’, meski tanpa bukti atau bukti minim.
Berbagai sumber menyebutkan hubungan Hendropriyono dengan lembaga-lembaga intelijen Australia dan AS terjalin begitu erat dan dekat. Tukar menukar informasi intelijen berlangsung tanpa diketahui publik, hingga kemudian mencuat berbagai rekayasa penangkapan yang mengikutsertakan elemen-elemen lembaga intelijen asing, seperti CIA.
Dalam sebuah acara di Hotel Satelit Surabaya sekitar awal tahun 2004, almarhum Munir sudah mengungkapkan sinyalemennya tentang rekayasa-rekayasa ini, meski ia belum memberikan gambaran utuh tentang hal itu. Sayangnya, Cak Munir sudah tiada, sedangkan publik kini layak bertanya, dimana gerangan isi koper Cak Munir yang berisi dokumen-dokumen untuk bahan penulisan tesis itu? Jawabannya masih harus menunggu keseriusan pemerintah menuntaskan masalah pembunuhan Munir tersebut. Selengkapnya Munir dan Kisah Sebuah Koper.
Pilih Hendro, mungkinkah Jokowi cari selamat ke Amerika dan Zionis? [tem/brbs/voa-islam.com]