View Full Version
Ahad, 24 Aug 2014

'Gay Politics': Aktor Dibalik Propaganda Perilaku Menyimpang LGBT

 

JAKARTA (voa-islam.com) - Kecenderungan untuk bersikap defensif di kalangan LGBT (Lesbi Gay Biseksual Transgender) ini tidak terlepas dari pengaruh politik dan media. Ada masalah besar yang dikenal dengan sebutan ‘gay politics’. Hal itu disampaikan Dr. Dinar dalam satu acara pertemuan sederhana yang digelar di Rumah Damai Indonesia (RDI) di bilangan Jatipadang, Jakarta, pada hari Selasa, (19/08). 

Acara silaturrahim ini  mempertemukan Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia, #IndonesiaTanpaJIL (ITJ), dan Anggota DPD terpilih Fahira Idirs untuk menanggapi propaganda LGBT yang marak berkembang kembali baru-baru ini, salah satunya lewat terbitnya sebuah komik berjudul Why? Puberty.

“Secara sederhana, gay politics adalah langkah-langkah politis yang dilakukan untuk melegitimasi perilaku LGBT dan menekan siapa saja yang menentangnya,” kata Dr. Dinar yang juga merupakan penggiat AILA.

Dr. Dinar mengungkapkan bahwa sejumlah lembaga internasional, misalnya, telah memasukkan klausul ‘dukungan terhadap kesetaraan gender’ dalam bantuannya kepada masyarakat atau ormas di Indonesia. Hal ini bisa dianggap sebagai sebuah tekanan politik kepada masyarakat Indonesia untuk menerima propaganda LGBT. Kasus buku Why? Puberty bukanlah satu-satunya, dan bukan pula yang pertama.

Salah satu argumen yang sering digunakan oleh para pendukung LGBT adalah bahwa perilaku homoseksual adalah sifat bawaan yang bersifat genetis. Pendapat ini kemudian disebarluaskan kemana-mana oleh media massa sehingga banyak orang yang menerimanya sebagai sebuah kebenaran yang tak terbantahkan.

“Sebenarnya, banyak sekali yang membantah penelitian-penelitian yang menyimpulkan bahwa homoseksualitas itu bersifat genetis. Bantahan-bantahan itu pun sangat ilmiah dan diakui di dunia sains. Hanya saja, sorotan media massa memang sangat timpang. Inilah hasil kerja gay politics yang sejauh ini cukup berhasil mempertahankan citra LGBT dengan berbagai cara,” ujar Dinar lagi.

Gay politics juga berhasil menekan dunia kedokteran dan psikologi sehingga berpihak kepada kaum LGBT.

“Sejak tahun 1970-an, homoseksualitas tidak lagi dianggap sebagai masalah kejiwaan. Demikian juga sejarah HIV/AIDS telah direkayasa sedemikian rupa sehingga orang lupa bahwa penyakit ini dulunya disebut sebagai Gay-Related Immune Deficiency atau GRID. Artinya, sejak awal memang penyakit ini bersumber dari kalangan homoseks. Tapi sejarah ini ditutup-tutupi,” peneliti bidang psikologi ungkap Rita Soebagio.

Selanjutnya, menurut Rita Soebagio, yang juga aktif di AILA ini, memojokkan kaum LGBT bukan pilihan yang baik.

“Permasalahan seksualitas ini adalah masalah yang sensitif dan kompleks bagi siapa saja. Jika kita menekan kaum LGBT ini, mereka justru akan bersikap defensif dan mencari pembenaran,” ungkapnya.

Sikap defensif ini dilakukan karena kaum LGBT tidak mau mengakui bahwa kecenderungan seksualnya adalah sebuah penyakit yang bisa disembuhkan, dan mereka senantiasa merasa akan diserang. Oleh karena itu, strategi dakwah yang lebih halus harus digunakan.

“Kita harus menjelaskan kepada mereka bahwa mereka bisa sembuh dari kecenderungan ini, dan kita ingin mereka sembuh justru karena kita menyayangi mereka,” ujar Tetraswari, salah satu penggiat AILA lainnya.

Sabriati Aziz, pengelola Ponpes Hidayatullah, Depok, yang juga aktif di AILA, berpandangan bahwa edukasi terhadap seluruh elemen masyarakat adalah kunci permasalahannya.

“Banyak di antara mereka yang tidak terjebak dalam LGBT namun membelanya karena tidak memiliki pengetahuan yang memadai, baik dalam hal agama maupun yang lainnya,” ujar beliau dengan mantap.

[AkmalITJ/syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version