JAKARTA (voa-islam.com) - Senat Mahasiswa Fakultas Usluhuddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel, Surabaya berulah. Pada agenda Ospek yang bertajuk Orientasi Cinta Akademik dan Almamater (OSCAAR) panitia mengambil tema besar berjudul “Tuhan Membusuk: Rekontruksi Fundamentalisme Menuju Islam Kosmopolitan”.
Direktur The Community of Ideological Analysis (CIIA) Ustadz Harits Abu Ulya sejak awal sudah menduga bahwa pembuatan tema Ospek “Tuhan Membusuk” itu merupakan pekerjaan anak-anak dari fakultas ushuludin dan filsafat. Kemudian Ustadz Harits memberikan lima analisis tajamnya mengapa hal itu bisa terjadi.
“Pertama, karena beberapa gelintir orang didalamnya (panitia ospek – red.) biasa cukup berani dan mengalami kegenitan intelektual dengan memproduksi tema atau gagasan yg mengundang kontraversi.” katanya dalam rilis yang diterima redaksi voa-islam.com, Ahad 31 Agustus 2014.
“Kedua, ini cara-cara untuk menarik perhatian dan mencari eksistensi di tengah persoalan yang menurut mereka butuh pencerahan,” tambahnya.
Ketiga, Ustadz Harits menyayangkan justru langkah seperti di atas tidak menunjukkan kadar intelektualitas mereka dan akhlak yang baik. Mendorong orang untuk berkontemplasi pada gagasan yang mereka lontarkan sebagai jembatan untuk menemukan jawaban dan kritik atas persoalan integritas orang-orang beriman tapi dengan cara-cara yang konyol dan jahil.
“Pepatah arab "bul 'ala zamzam fatashur" (kencingi saja air zam zam kalian akan terkenal), nah cara-cara kaum intelektual yang "koplak" interest dengan pola seperti itu,” ungkapnya
Keempat para mahasiswa penikmat filsafat keliatannya tidak sadar bahwa justru integritas keimananya mengalami pengampasan, karena tereduksi dengan mindset filsafat yang merelatifkan kebenaran hakiki. Demikian pula soal paling mendasar, keimanan kepada Allah SWT. menjadi sebuah ranah intelektual keimanan tentang Allah SWT, sebatas iman terhadap ide-ide ketuhanan (fikroh uluhiyah).
“Jadi bukan iman kepada Allah SWT al wajibul wujud dengan pembenaran yang pasti, tetapi hanya iman (percaya) kepada ide-ide (teori) ketuhanan semata. Iman cuma sampai di mulut dan tenggorokan. Secara substansi, identik dengan kaum sekuler-liberal, wajar jika kemudian melahirkan "akrobat-akrobat ide" yang kontraproduktif; jahil dan menyesatkan umat” paparnya.
Kelima, Ustadz Harits teringat gaya komunis dengan pendekatan seni membuat drama dengan lakon "tuhan telah mati". Jadi, solusi sementara yang urgent adalah pihak rektorat melakukan elaborasi dan memberikan punishment kepada orang-orang yang terlibat di dalamnya, dan karena terekspos di ruang publik, maka perlu ada yang mengadvokasi untuk minta klarifikasi apa maksud mereka. Bawa saja ke ranah hukum.
“Jangan sampai kejadian ini terus terulang, karena saya yakin orang tua mengkuliahkan anaknya ke UIN atau ke fakultas ushuludin tidak untuk menjadi orang yang keblinger (liberal-sekuler), dan tidak punya etika komunikasi ke publik. Lebih-lebih dalam persoalan akidah, mereka perlu tahu bahwa kebenaran substansi gagasan itu juga butuh kemampuan mengkomunikasikan gagasan secara verbal maupun non verbal dengan baik pula. Kalau tidak, itu tidak lebih dari sosok intelektual liberal yang frustasi,” pungkasnya.
[syahid/voa-islam.com]