JAKARTA (voa-islam.com) - Sudah dapat diprediksi sikap Jokowi, sejak awal dia menolak pemilihan kepala daerah, seperti gubernur, bupati dan walikota melalui DPRD. Karena, kalau pemilihan kepala daerah melalui DPRD, sudah pasti tidak akan ada gubernur atau wakil gubernur DKI, yang bernama Jokowi dan Ahok.
Dengan pemilihan langsung itu, Jokowi bisa manggung menjadi walikota, gubernur, dan sekarang presiden. Semua itu, hanyalah sebuah rekayasa yang sistematis, melalui jaringan media, yang membentuk opini, dan mengarahkan rakyat tentang 'tokoh' yang bakal maju, seperti Jokowi itu, sebagai tokoh yang sangat 'hebat'.
Sekarang Jokowi sudah menikmati hasil dari pemilihan lansung, dan dia meminta pemerintah segera menarik beleid pembahasan revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah.
Usul perubahan sistem yang sedang dibahas Dewan Perwakilan Rakyat dinilai akan merugikan hak konstitusi rakyat. "Sejak awal saya sampaikan, hak politik rakyat jangan dipotong," kata Jokowi, Senin, 15 September 2014.
Usulan perubahan sistem pemilihan kepala daerah sedang dibahas pemerintah bersama DPR. Mayoritas fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih, mengusulkan agar pemilihan kepala daerah ditentukan DPRD.
Mereka menilai sistem pemilihan langsung yang berlaku saat ini membebani anggaran negara, melahirkan konflik antarmasyarakat, dan menyuburkan praktek korupsi, dan berpontensi negara ini akan jatuh ke tangan 'Asing dan A Seng'.
Menurut Jokowi, dampak negatif akibat sistem itu bukan alasan untuk menghapus hak politik rakyat. Persoalan itu hendaknya diperbaiki tanpa mengubah sistem pemilihan secara langsung.
"Masalah itu justru akan mendewasakan rakyat. Sekarang ini rakyat sudah mengerti betul memilih bupati, wali kota, gubernur. Jangan sampai kita mundur lagi," kata Jokowi.
Bagaimana mau mendewasakan rakyat? Justru yang terjadi rakyat seperti 'bebek' digiring oleh media 'mainstream' diarahkan kepada tokoh tertentu yang sudah dijagokan menjadi bagian dari kepentngan 'Asing dan A Seng'. [jj/dbs/voa-islam.com]