View Full Version
Sabtu, 20 Sep 2014

Kado Terakhir Presiden SBY untuk Bangsa dan Dukungannya Pada Jokowi

JAKARTA (voa-islam.com) - Jika semua orang hari ini ditanya, apa kado terakhir paling indah dari masa kepemimpinan presiden SBY selama sepuluh tahun sejak 2004?

Orang akan menjawab, Pak SBY tidak bersedia menaikkan harga BBM, meskipun didesak oleh Jokowi Cs.

Sepintas penolakan SBY untuk menaikkan harga BBM terasa sangat indah, dan disambut kesyukuran nan tinggi. Akan tetapi bila kita jeli, penolakan SBY hanya semacam cara mengelabui opini publik agar terbangun citra positif sebelum dia pensiun jadi presiden.

Kado sesungguhnya yang dipersembahkan SBY buat rakyat Indonesia sangatlah busuk. Rapi sekali presiden SBY memainkan politiknya sampai akun terkenal Triomacan2000Back pun tertipu.

Di akhir-akhir jabatan SBY memukulkan gong terakhir, sebagai tanda berakhirnya masa jabatan dia, sekaligus sebagai pukulan mematikan terakhir buat bangsa Indonesia.

Tidak mungkin Jokowi-JK bisa meraih kemenangan dalam Pilpres 9 Juli 2014, tanpa bantuan plus dukungan SBY. Secara politik formal Partai Demokrat mendukung Prabowo-Hatta, tapi secara mesin politik di lapangan dan jejaring birokrasi SBY berperan significant memenangkan Jokowi-JK.

SBY Memenangkan Jokowi

Mungkin saja banyak orang tak percaya, tapi penulis berhasil kumpulkan kepingan-kepingan fakta yang mengerucut kesimpulan, Pak SBY berperan besar memenangkan Jokowi-JK. 

Antara pihak SBY dengan Jokowi-JK terjalin komunikasi saling pengertian, terutama dihubungkan perkara-perkara hukum yang mengancam keluarga Cikeas bilamana SBY sudah tak berkuasa lagi.

SBY sudah mendapat garansi perlindungan hukum dari tim Jokowi-JK, maka dari itu ia bekerja keras memenangkan Jokowi-JK dan melindungi yang bersangkutan dari risiko-risiko politik.

International Herald Tribune pada 8 Agustus 2003, memuat pernyataan baiat kesetiaan SBY ke pemerintah Amerika. Kala itu SBY berkata, “I love United States with all its faults. I consider it may second country”. Majalah Time edisi 10 Juli 2009 menurunkan tulisan Ishaan Tharoor berjudul, Susilo Bambang Yudhoyono: The Man Behind Indonesia’s Rise. Cermati fakta ini!

Ini kata kunci penting membaca permainan politik SBY. Ia tetap sosok yang sama, tak berubah, ia tetap SBY yang dulu. SBY berada di domain eksekutor kepentingan asing, khususnya Amerika.

Kala Pilpres 9 Juli 2014 mempertemukan dua pasangan Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK, sudah pasti SBY memihak garis politik Jokowi sebagai proxy kepentingan ‘asing dan a seng’.

Pemimpin proxy akan memihak sesama proxy, tak mungkin mengambil lawannya.

Bila kemudian Partai Demokrat merapat ke kubu Prabowo-Hatta, tidak bisa cepat dibaca bahwa ia mengesankan dukungan politik SBY ke kubu Prabowo-Hatta.

Lihat saja DPP Partai Demokrat merapat ke kubu Prabowo-Hatta pada 30 Juni 2014, sedangkan Pilpres digelar 9 Juli 2014.

Hanya berselang 9 hari sudah Pilpres. Dipotong masa tenang, dukungan Partai Demokrat tidak ada artinya, juga tidak mempengaruhi sikap para pemilih Partai Demokrat karena mereka punya waktu banyak untuk berpikir sendiri sebelum menentukan pilihan.

Tapi manuver Partai Demokrat itu besar artinya untuk menyembunyikan agenda politik SBY sesungguhnya, yakni anti politik kemandirian ala Prabowo dan mendukung penuh politik proxy ala Jokowi.

Dengan dukungan resmi Partai Demokrat, SBY telah mengamankan citra politiknya di mata rakyat Indonesia yang menginginkan kemandirian.

Untuk memastikan kesimpulan ini, mari merujuk kembali pernyataan SBY saat berada di Baruga Pak Letnan pada Mei 2014. Pernyataan ini disiarkan juga oleh Suara Demokrat melalui situs www.youtube.com. Kompas.com memuat pernyataan itu dalam tulisan bertitle, SBY Sebut Ada Janji Capres yang Berbahaya.

Cermatilah isi pernyataannya, “Kalau didengarkan janji-janji kampanye sekarang menurut saya ada yang berbahaya. Misalnya, kalau seorang capres ada yang mengatakan, kalau saya jadi presiden, akan saya nasionalisasi semua aset, diambil alih semuanya. Nanti yang perjanjiannya sudah di era Bung Karno dan Pak Harto, dan sekarang, hari ini dinasionalisasi aset asing di Indonesia, besok kita akan dituntut di arbitrase internasional. Lusa kita akan kalah. Kalahnya akan memorak-porandakan perekonomian kita, dampaknya sangat dahsyat”.

Cermati pernyataan itu, SBY jelas tidak mendukung ide nasionalisasi aset-aset negara yang dikuasai asing dan terlihat ketakutan kalah dalam proses arbitrase internasional. Itulah tipikal pemimpin yang katanya nasionalis, religius, peduli bangsa.

Cermati lagi pernyataan selanjutnya yang lebih jelas, “Saya tidak akan mendukung capres manapun yang janji-janjinya justeru membahayakan bangsa kita. Itu maksud saya concern pada platform dan janji kampanye”. (nasional.kompas.com, 7 Mei 2014)

Pernyataan ini dikeluarkan sebulan setelah Pileg 9 April 2014, di mana suara Partai Demokrat mengalami kemerosotan tajam. Jauh sebelum Pilpres digelar, SBY sudah memetakan posisi politiknya untuk tidak mengusik kepentingan asing, sama seperti misi Jokowi. Malahan SBY mengklaim, demikian itulah platform politik dia.

Presiden SBY di sini memainkan strategi “dua kaki”. Secara formalis politis ia berdiri di pihak Prabowo-Hatta, secara mesin politik dan dukungan birokrasi membela Jokowi-JK.

Justeru peranan ini sangat besar pengaruhnya menimbulkan degradasi bagi tim Prabowo-Hatta. Orang yang mereka percayai terbukti memberikan daya dukung luar biasa buat tim lawan.

Pak SBY lebih banyak memainkan strategi pencitraan sehingga terkesan pro agenda politi Prabowo-Hatta, tapi secara realistik ia sepenuh hati mendukung Jokowi-JK. Permainan peran yang dilakukan SBY tak urung telah menipu jutaan manusia, termasuk menyesatkan akun Triomacan2000back.

Berulang-ulang akun Triomacan2000 melansir analisa-analisa membingungkan. Katanya SBY akan begini, SBY akan begitu, SBY bisa begini, SBY bisa begitu, SBY sedang jalankan strategi ini, itu, ita dan eti. Mana yang benar?

Penulis simpulkan, tak mungkin Jokowi-JK bisa menang, bisa melakukan kecurangan massif dan sistematik, tanpa dukungan mesin politik SBY. Coba cermati mengapa Partai Demokrat sangat telat memberikan dukungan ke kubu Prabowo-Hatta?

Karena SBY ingin memastikan lebih dulu skenario pemenangan politik proxy berjalan lancar, saat yang sama skenario mengalahkan politik kemandirian juga sudah mantap.

Setelah semua pranata politik terarah memenangkan kubu politik proxy (seperti jati diri politik SBY selama sepuluh tahun terakhir) baru SBY bangun citra, seolah memihak kubu kemandirian.

Gombal.

Untuk memantapkan kesimpulan demikian, penulis ajak pembaca mencermati fakta-fakta lapangan sebagaimana di bawah :

1) Jokowi sebagai calon presiden terindikasi merupakan keturunan tokoh PKI dari Giriroto Boyolali, tapi tidak ada kesungguhan SBY buat membendungnya, padahal sesuai aturan berlaku para pejabat harusnya steril dari unsur PKI.

2) SBY tidak mendesak, memproses, menggerakkan pranata hukum, terutama KPK dan Kejagung, untuk mempercepat proses hukum kasus korupsi Transjakarta yang melibatkan Gubernur DKI, Joko Widodo. Kasus ini sudah muncul sejak setahun sebelum Pilpres.

3) SBY membiarkan saja campur tangan asing, terutama pengusaha Tiongkok debitor BLBI, melakukan back up penuh kepada gerakan pemenangan Jokowi-JK. Secara aturan hukum intervensi itu dilarang dan pemerintah punya kekuatan intelijen buat jaga kedaulatan negara.

4) SBY tidak mendukung Bawaslu yang merekomendasikan pemilu ulang pada 5.800 TPS yang diindikasikan terjadi kecurangan. Sebagai kepala negara, pemimpin pelaksanaan hukum dan proses demokrasi, tidak sulit mendukung pemilu ulang. Tapi SBY tidak mendukung ke sana.

5) SBY tidak pernah mengeluarkan sepatah pun kalimat yang menegaskan telah terjadi kecurangan secara massif dan sistematik dalam pelaksanaan Pilpres Juli 2014. Padahal partai SBY secara formal dirugikan oleh hasil kecurangan yang ada.

6) Tatkala tertangkap 35 hacker asal China dan Korea di Semarang, pemerintah SBY membiarkan kasus itu berlalu, tanpa ada keseriusan mengembangkannya menjadi prioritas hukum. Mengapa para hacker hanya dideportasi saja tanpa sanksi apa pun? Bagaimana dengan negara asal para hacker serta user-nya, apa tidak ada peringatan atau protes? SBY hanya memilih diam.

7) SBY mendiamkan terjadinya aliran dana besar-besaran dari luar negeri masuk ke Indonesia, sebelum pelaksanaan Pilpres. Aliran dana ini sudah dalam pantauan intelijen, tapi dibiarkan lolos menjadi dukungan finansial buat pasangan tertentu untuk melakukan modus money politic.

8) Beberapa hari sebelum MK mengumumkan hasil sengketa Pilpres 21 Agustus 2014, kandidat cawapres Jusuf Kalla, Megawati, Sofyan Wanandi melakukan kunjungan ke Amerika. Alasannya menengok orang sakit. Tapi beredar kabar mereka bertemu tokoh teras Amerika, Bill Clinton dan Obama.

Sayangnya lagi-lagi SBY diam saja. Secara aturan diplomasi seorang kandidat pemimpin negara (cawapres) tidak dibenarkan melakukan kunjungan ilegal, apalagi di saat-saat genting menjelang pengumuman gugatan di MK. Itu bisa dicurigai sebagai bentuk menggadaikan kedaulatan negara buat kepentingan asing.

9) Menurut Triomacan2000, SBY mendukung keputusan MK menolak gugatan Prabowo-Hatta, dengan alasan empat dari sembilan hakim MK ialah orangnya SBY. SBY ingin menjaga citra di mata dunia bahwa dia tidak intervensi proses demokrasi.

Tapi di situ SBY justeru melakukan intervensi hukum dengan dibalut alasan-alasan politik, untuk tujuan pencitraan pribadi. Triomacan juga membeberkan fakta, Prabowo sudah berusaha berkali-kali menghubungi SBY lewat telepon atau SMS, tapi selalu tidak mendapat respon.

Triomacan berdalil ke Prabowo, SBY tidak percaya dengan orang-orang di sekitar Prabowo yang diindakasi tidak bersih. Mungkin saja di tim Prabowo ada yang mendukung tim lawan, tapi meyakini SBY bersih dari semua muslihat untuk memenangkan Jokowi terlalu berlebihan.

Banyak fakta bisa digelar, SBY setali tiga uang dengan politik proxy Jokowi. Maka dari itu sulit dipercaya apabila SBY mendukung agenda politik Prabowo-Hatta. Jauh panggang dari api.

Sejak masuk dunia politik, SBY sudah menjadi proxy kepentingan asing. Tak mungkin dia akan berubah tiba-tiba hanya dalam waktu beberapa bulan.

Pernyataan SBY yang pro ‘asing dan a seng’ sudah terang sekali, “Saya tidak akan mendukung capres manapun yang janji-janjinya justeru membahayakan bangsa kita. Itu maksud saya concern pada platform dan janji kampanye”. (nasional.kompas.com, 7 Mei 2014) SBY nyata bersikeras dengan dengan platform-nya untuk menjaga kepentingan asing.

SBY inilah tipe jenderal busuk yang mabuk pencitraan. Dia ingin dikesankan pro rakyat dengan mendukung pasangan Merah-Putih. Dia ingin dikesankan pro demokrasi oleh dunia, dengan tidak mendukung gugatan hukum tim Prabowo-Hatta ke MK.

Dia ingin dikesankan sebagai “good boy” oleh asing dengan mendukung pemenangan Jokowi-JK. Dia ingin dikesankan pro rakyat kecil dengan menolak menaikkan BBM. Begitulah cara Presiden SBY memberikan ‘kado terakhir’ buat rakyat Indonesia.

Di atas semuanya SBY sudah mengantongi jaminan perlindungan hukum dari kubu Jokowi-JK. Bisa dibaca dari beberapa signal yang selalu dikatakan SBY, “Tidak ada orang yang kebal hukum di negeri ini”.

Secara verbal begitu kalimatnya, tapi secara implisit SBY ingin berkata kalau dia sudah dapat jaminan kekebalan hukum dari orang-orang Jokowi. Apa buktinya pernyataan ini?

Mari kita lihat lima tahun ke depan, beranikan Jokowi-JK menyasar keluarga Cikeas dengan jerat hukum korupsi? Lain dari pada itu, presiden SBY justeru tega menjebloskan kader-kader Partai Demokrat atau menterinya sebagai tumbal kasus korupsi.

Fakta terakhir ialah Jero Wacik yang ditersangkakan oleh KPK. Kita tahu, Jero Wacik ialah loyalis SBY. Partai Demokrat jadinya hanya semacam batu pijakan buat SBY untuk menyalurkan ambisi politik pribadinya. Kasihan betul.

Sudah begitu, menurut aturan terbaru, pasca pensiun presiden dan wapres mendapat fasilitas besar dari negara. Termasuk hak perlindungan Paspampres secara penuh untuk diri dan keluarganya. Seakan ia sudah merasa bersalah duluan, jadi perlu perlindungan istimewa.

Masyarakat harus tahu, inilah kado terakhir yang dipersembahkan SBY buat bangsa, yakni strategi cari aman atau politik ‘di sini senang di sana senang’. Tapi yang paling mengambil keuntungan dari permainan ini ialah SBY sendiri dan keluarganya. Sangat busuk dan lucah!

Jangan pernah lupakan statemen sang presiden manakala menyatakan baiat kesetiaan ke pemerintah Amerika, “I love United States with all its faults. I consider it my second country”. Kata kunci politik proxy ada di situ.

[By : Sandi Karunia]


latestnews

View Full Version