JAKARTA (voa-islam.com) - Terkait kasus tewasnya Nurdin di Dompu oleh Densus 88 saat melakukan penindakan hukum, dari kesaksian-kesaksian di lapangan mengindikasikan kuat bahwa cara kerja Densus 88 sangat tidak profesional bahkan brutal. Karena itu saya perlu menyampaikan pandangan saya sebagai kritik atas peristiwa tersebut:
Ini satu bukti lagi cara kerja Densus 88 yang tidak profesional, bahkan boleh dibilang biadab dalam penindakan dan penegakkan hukum. Supremasi hukum tidak lagi menjadi doktrin penegak hukum. Cara kerja dengan dasar dendam kusumat lebih menonjol pada kasus terbunuhnya Nurdin di tangan Densus 88. Orang-orang yang masuk daftar DPO Densus 88 dugaan kuat saya semua sudah terpetakan koordinatnya, tinggal kapan mau dimainkan.
Namun sangat disayangkan jika cara-caranya seperti halnya gerombolan peneror yang tidak mengerti hukum. Pihak polri boleh dan bisa saja membuat argumentasi kenapa Nurdin harus ditembak mati. Tapi masyarakat juga tidak bodoh dan tidak bisa dibodohi karena kesaksian dilapangan banyak menunjukkan informasi yang kontra dengan statemen Polri. Dan hal ini tidak bisa diabaikan.
Terbunuhnya Fadli yang notebene orangnya Densus 88 di Poso oleh orang-orang yang mengaku dari MIT (mujahidin Indonesia Timur) dibalas eksekusi dengan cara tidak kalah brutalnya oleh Densus 88 terhadap Nurdin di Dompu. Seperti berbalas pantun; kekerasan dibalas kekerasan. Saya melihat siapapun yang melakukan tindak kekerasan yang biadab maka ia berkontribusi melahirkan kekerasan dan kebiadaban berikutnya.
Penindakan hukum itu bukan dengan cara-cara melanggar hukum, karena jelas berbeda peran aparat penegak hukum dengan penjahat atas nama hukum. Mereduksi sikap radikal ekstrim sebuah kelompok masyarakat tidak pernah bisa dengan cara-cara yang justru melahirkan efek kristalisasi radikalisme. Saya menduga kuat tindakan Densus 88 terhadap Nurdin di Dompu akan melahirkan spiral kekerasan berikutnya.
22 September 2014
Harits Abu Ulya, Pemerhati Kontra Terorisme